Friday, 8 January 2016

Kasus Kejahatan Dalam Bentuk Kecurangan Atau Fraud Oleh Nur Hidayat (B2001440358)

ABSTRAK

Tujuan makalah ini adalah mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan dalam pendeteksian kecurangan dalam audit atas laporan keuangan oleh auditor. Meskipun pendeteksian kecurangan penting untuk meningkatkan nilai pengauditan, namun terdapat banyak masalah yang dapat menghalangi implementasi dari pendeteksian yang tepat. Berdasarkan telaah atas berbagai penelitian yang telah dilakukan, ada terdapat empat faktor penyebab besar yang diidentifikasikan melalui makalah ini. Pertama, karakteristik terjadinya kecurangan sehingga menyulitkan proses pendeteksian. Kedua, standar pengauditan belum cukup memadai untuk menunjang pendeteksian yang sepantasnya. Ketiga, lingkungan kerja audit dapat mengurangi kualitas audit dan keempat metode dan prosedur audit yang ada tidak cukup efektif untuk melakukan pendeteksian kecurangan. Berdasarkan permasalahan ini, perbaikan yang perlu disarankan untuk diterapkan.

Kata kunci: auditing, fraud, fraud dalam Laporan Keuangan.
































Latar Belakang

Di Indonesia yang dikenal dengan negara berkembang telah banyak menciptakan perusahaan-perusahaan yang pastinya akan membutuhkan karyawan, karyawan yang dibutuhkan harus memenuhi sayarat agar bisa bekerja di perusahaan tersebut. Namun demi keuntungan personal, para karyawan ini sering menyalah gunakan pekerjaan mereka untuk menambah keuntungan mereka, untuk menambah keuntungan mereka biasanya melakukan kecurangan (fraud).
Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji (mistatement) yang material dan juga memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan.
Kecurangan atau biasa dikenal dengan fraud adalah suatu tindakan yang disengaja dan bertujuan untuk menipu atau merugikan orang lain. Fraud ini sudah di kategorikan dalam kejahatan, karena Fraud dilakukan dengan sengaja oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang bisa menyebabkan kerugian pada perusahaan, bahkan juga bisa membuat perusahaan itu bangkrut.
            Terjadinya kecurangan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan, dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius dan membawa banyak kerugian meski belum ada informasi yang spesifik di Indonesia.
            Mengingat akan arti pentingnya tanggung jawab auditor ini, maka makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab kegagalan auditor dalam pendeteksian kecurangan. Untuk melakukan hal di atas, pembahasan didasarkan atas literatur-literatur profesional dan penelitian-penelitian empiris yang berkaitan. Dari uraian ini diharapkan agar didapatkan gambaran jelas dan komprehensif tentang masalah ini dan dapat digunakan untuk mengevaluasi berbagai langkah untuk memperbaiki kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan. Untuk menjawab pertanyaan permasalahan di atas bukan merupakan tugas mudah mengingat literatur dalam bentuk opini maupun penelitian empiris maupun rangkuman penelitian amat tersebar-sebar dan dalam skop atau lingkup kecil. Dalam makalah ini, analisis dilakukan dengan memetakan secara komprehensif faktor-faktor penyebab dan berdasarkan faktor-faktor tersebut menganalisis upaya perbaikan yang mungkin diusulkan.














Landasan Teori

A.     Fraud (Kecurangan)

Tindakan kecurangan perusahaan (corporate fraud) merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh pihak manajemen dan atau pemilik perusahaan untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh pihak regulator.
 Secara mendasar, kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan merupakan salah satu jenis kecurangan yang terjadi di sekitar kita. Pada praktiknya, definisi dari kecurangan sendiri bisa beraneka ragam. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), kecurangan (fraud) merupakan tindakan penipuan atau kekeliruan yang dilakukan oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik kepada individu atau entitas atau pihak lain. Merujuk pada definisi tersebut maka secara umum kecurangan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan orang-orang baik dari daam atau uar organisasi yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya yang dapat merugikan pihak lainnya. Tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan baik secara spontan maupun direncanakan.

1.      Fraud Triangel           
Seseorang bisa melakukan tindakan kecurangan apabila dilandasi oleh tiga hal yaitu kesempatan (opportunity), tekanan atau insentif (pressure or incentive) dan rasionalisasi (rationalization). Ketiganya saling mendukung sama lain dan membentuk pilar kecurangan yang disebut sebagai segitiga kecurangan (fraud triangle). Elemen pertama dari segitiga kecurangan adalah tekanan. Tekanan dapat diakibatkan oleh berbagai hal termasuk tekanan yang bersifat finansial dan non finansial. Faktor finansial muncul karena keinginan untuk memiliki gaya hidup yang berkecukupan secara materi. Sedangkan faktor non finansial bisa mendorong seseorang melakukan fraud, yaitu tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk. Selain itu sifat dasar manusia yang serakah bisa jadi memberikan tekanan secara internal sehingga mendorong seseorang melakukan tindakan kecurangan.
Faktor kecurangan yang kedua adalah kesempatan. Terbukanya kesempatan ini dikarenakan si pelaku percaya bahwa aktivitas mereka tidak akan terdeteksi. Bahkan andaikan aksi seseorang itu diketahui, maka tidak ada tindakan yang serius yang akan diambil. Peluang ini terjadi biasanya terkait dengan lingkungan dimana kecurangan memungkinkan untuk dilakukan. Sistem pengendalian internal yang lemah, manajemen pengawasan yang kurang memadai serta prosedur yang tidak jelas ikut andil dalam membuka peluang terjadinya kecurangan.
Elemen ketiga dalam tindakan kecurangan adalah rasionalisasi. Hal ini merupakan pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan. Para pelaku fraud biasanya mencari berbagai alasan secara rasional untuk menjustifikasi tindakan mereka. Di Amerika Serikat, badan yang menaungi para pemeriksa eksternal yang independen yaitu American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) mencoba mengadopsi konsep fraud triangle kedalam salah standar audit, yaitu SAS No.99 tentang fraud risk factor. Dalam lingkup standar tersebut, pihak auditor eksternal perlu mengidentifikasi dan mempertimbangkan faktor-faktor risiko yang potensial menyebabkan klien audit mereka untuk melakukan tindak kecurangan. Berdasarkan pilar kecurangan, apabila auditor menemukan satu pilar saja hal tersebut sudah cukup untuk mengindikasikan potensi terjadinya kecurangan.
Berikut adalah ilustrasi untuk Fraud Triangel.


  FRAUD TRIANGEL
Kesempatan
Rasionalisasi
Tekanan








































2.      Perilaku Tidak Etis
Organisasi atau perusahaan sebagai badan hukum dipandang sebagai individu. Berkenaan dengan status tersebut organisasi dituntut berperilaku etis terhadap pekerja, konsumen, atau masyarakat pada umumnya. Hal demikian dibuktikan dengan adanya berbagai tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Dilema etik sering muncul ketika pada saat yang sama manajemen dituntut meningkatkan keuntungan organisasi dan memaksimalkan manfaat yang bisa diperoleh konsumen melalui produk yang dihasilkan organisasi. Keadaan demikian melahirkan perilaku tidak etis dan berbagai kebijakan bias.
Perilaku tidak etis adalah perilaku yang menyimpang dari tugas pokok atau tujuan utama yang telah disepakati. Perilaku tidak etis seharusnya tidak bisa diterima secara moral karena mengakibatkan bahaya bagi orang lain dan lingkungan.
Dalam praktiknya perilaku tidak etis memiliki pola yang rumit. Sebagai gejala kompleks perilaku tidak etis sangat bergantung pada interaksi antara karakteristik personal dengan fenomena asosial yang muncul, lingkungan, dan faktor psikologi yang kompleks.
Selain faktor tersebut perilaku tidak etis juga dipicu oleh sistem gaji, keamanan atas risiko pekerjaan, perlindungan atas kerahasiaan laporan keuangan. Jika perilaku tidak etis dibiarkan maka akan berkembang menjadi bentuk kompleks yang sulit ditelusuri dan menimbulkan akibat yang merugikan.
Menurut beberapa penelitian yang dilakukan oleh suatu pihak tertentu yang menghasilkan jawaban bahwa perilaku tidak etis dalam penelitian ini dikatakan sebagai perilaku yang menyalahgunakan jabatan, sumber daya organisasi, kekuasaan, dan perilaku yang tidak berbuat apa-apa sehubungan dengan jabatan dan kekuasaannya. Dikatakan Dallas (2002) perilaku tidak etis mengakibatkan iklim kerja yang tidak sehat dan mendorong timbulnya kecenderungan kecurangan akuntansi, serta mengganggu akuntabilitas kinerja.

3.      Kecenderungan Kecurangan Akuntansi
Kecenderungan diartikan sebagai ‘lebih tertarik pada...’ namun tidak selalu tertarik pada... (Daryanto, 1997), yang disimpulkan karena berbagai perilaku yang diperankan banyak mengandung nilai-nilai yang menuju ke arah pada hal-hal yang dia tertarik tersebut.
Definisi tentang kecurangan akuntansi bahwa mereka semua menfokuskan perhatian pada dua sumber risiko kecurangan, yaitu laporan keuangan yang menipu dan ketidaktepatan aset.
Pada tahun 2001, IAI membedakan antara kecurangan dan kekeliruan. Jika risiko itu timbul atas dasar tindakan yang disengaja, diklasifikasikan sebagai kecurangan. Namun jika risiko timbul karena perbuatan tidak sengaja, disebut sebagai kekeliruan.
Berdasar deskripsi tersebut Kecenderungan Kecurangan Akuntansi diartikan sebagai adanya tindakan, kebijakan dan cara, kelicikan, penyembunyian, dan penyamaran yang tidak semestinya secara sengaja, yaitu dalam menyajikan laporan keuangan dan pengelolaan aset organisasi yang mengarah pada tujuan mencapai keuntungan bagi dirinya sendiri dan menjadikan yang lain sebagai pihak yang dirugikan.
Kecenderungan Kecurangan Aakuntansi merupakan ancaman yang terus berkembang. Umumnya hal tersebut terjadi karena tiga alasan (sebagai fraud triangle), yaitu peluang (opportunit)y, insentif dan tekanan (incentive and pressure), rasionali- sasi dan sikap (rationalizaation and attitude).
Peluang yang dimaksud tergambar sebagai keadaan yang mendukung dan menyediakan kemungkinan bagi dipilihnya tindakan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi. Insentif dan tekanan adalah kondisi insentif atau adanya tekanan lain yang menjadi motivasi bagi pimpinan atau pejabat untuk melakukan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi. Adapun rasionalisasi adalah adanya pembenaran atau justifikasi dari pihak yang terlibat kecenderungan kecurangan bahwa perilaku mereka adalah konsisten dengan kode etik pribadi mereka. Sikap berarti bahwa individu yang terlibat memiliki karakter atau nilai yang memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan tersebut.
Bentuk kecurangan laporan keuangan menurut IAI (2001) adalah:
(a) Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya;
(b) Penyajian yang salah;
(c) Salah penerapan prinsip secara sengaja;
(d) Ketidaktepatan aset.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kecurangan akuntansi oleh pimpinan dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber penipuan baik berupa pemalsuan atau penyembunyian bukti-bukti transaksi, penyajian informasi dan laporan keuangan yang tidak benar, ataupun salah saji akibat perlakuan yang tidak semestinya terhadap aset.
Sehubungan dengan laporan keuangan kecenderungan kecurangan umumnya terjadi karena pengaruh lingkungan intern dan lingkungan ekstern. Hal tersebut diungkap sehubungan dengan laporan keuangan dan pengelolaan aset organisasi yang cenderung menyimpang dari Standar Profesional Akuntan Publik atau SPAP 2001 seksi 316 (IAI, 2001) yang ditujukan untuk mencapai keuntungan diri sendiri dan menjadikan pihak lain sebagai korban yang dirugikan.
Empat bentuk kecurangan di atas merupakan sinyal adanya Kecenderungan Kecurangan Akuntansi, karena berdasar PSAK No.1 (IAI, 2004) disebutkan bahwa pimpinan berkewajiban menetap- kan kebijakan akuntansi sehingga bisa memberikan kepastian bahwa laporan keuangan yang dibuatnya menyajikan informasi dengan relevan dan handal.

4.      Kesesuaian Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Intern diimplementasikan pada suatu organisasi melalui berbagai kebijakan dan prosedur untuk memberikan jaminan bahwa tujuan-tujuan perusahaan dapat dicapai dan untuk mengurangi kerugian atas kemungkinan terjadinya eksposur (ancaman keamanan informasi). Kebutuhan Sistem Pengendalian Intern meningkat sehubungan dengan meningkatnya perkembangan dan bentuk eksposur. Salah satu bentuk eksposur adalah penggelapan dan kecurangan akuntans.
Bagi PTN yang berbentuk BHMN kepemilikan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dibuktikan dengan sebuah sertifikat dan tidak demikian halnya dengan PTN yang belum BHMN. Namun, secara jelas BPK menegaskan bahwa semua PTN wajib menjalankan Sistem Pengendalian Intern secara memadai (BPK RI, 2007).
Kesesuaian Sistem Pengendalian Intern yang dikembangkan tercapai jika bentuk Sistem Pengendalian Intern yang dikembangkan dan usaha orang-orang yang terlibat selaras dengan maksud memberi jaminan yang memadai bahwa tujuan organisasi akan terealisasi.

5.      Sistem Kompensasi
Kompensasi merupakan komponen biaya yang dibayarkan oleh organisasi pada karyawan. Bagi karyawan kompensasi merupakan faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan, sedang bagi organisasi kompensasi merupakan komponen biaya yang mempengaruhi tingkat efisiensi dan profitabilitas. Oleh karena itu, organisasi perlu hati-hati dalam mengontrol dan mendesain kompensasi supaya kedua kepentingan tersebut dapat diakomodasi. Hal tersebut merupakan tantangan bagi organisasi untuk membuat sistem kompensasi yang mampu mendorong karyawan berprestasi secara optimal.
Sehubugnan dengan hal tersebut dalam mendesain sistem kompensasi perlu diingat bahwa salah satu tujuan karyawan memberikan kinerja terbaiknya pada perusahaan adalah guna memperoleh kompensasi yang diinginkan. Sebaliknya, perusahaan akan memberi kompensasi karyawan lebih tinggi bila karyawan bisa memberikan sumbangan yang signifikan pada pencapaian tujuan perusahaan. Sejalan dengan keadaan tersebut dapat dijelaskan bahwa jika sistem kompensasi hanya didasarkan atas kinerja fisik yang secara langsung diukur dengan satuan uang saja, akan mendorong iklim kerja yang kering nilai budi pekerti.
Alasannya, dasar kompensasi tersebut mendorong karyawan hanya berorientasi pada nilai uang yang mereka harapkan dan mengabaikan nilai etika. Pendapat demikian dibuktikan kembali, bahwa kompensasi yang dibayar berhubungan negatif dengan independensi dewan direksi.

6.      Ketaatan Aturan Akuntansi
Penyajian laporan akuntansi oleh organisasi merupakan kewajiban sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab yang telah didelegasikan kepada pimpinan. Untuk itu maka ada dua kebutuhan yang perlu dipenuhi, yaitu kebutuhan pemakai (sebagai pihak ekstern) dan pimpinan selaku pihak pengelola aset dan penyaji laporan keuangan.
Dari pihak ekstern, pemakai laporan keuangan terdiri atas banyak pihak seperti investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok, kreditor, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat. Mereka memiliki kebutuhan informasi berbeda-beda yang harus dipenuhi. Untuk itulah, laporan keuangan disajikan secara umum, namun harus memenuhi kualitas tertentu.
Agar kualitas di atas dapat dipenuhi, SPAP (IAI, 2001) menunjukkan bahwa laporan keuangan yang disajikan harus bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan ataupun karena kecurangan. Dalam hal ini pimpinan PTN bertanggung jawab untuk menerapkan kebijakan akuntansi yang sehat serta mengikuti prosedur pengelolaan aset dan prosedur pencatatan secara konsisten.
Penggunaan aturan akuntansi oleh pimpinan PTN sekaligus dapat memenuhi kebutuhannya untuk mempertahankan kua- litas dirinya selaku penerima amanah. Sebab melalui prosedur kerja dan pelaporan keuangan yang sesuai aturan akuntansi, pimpinan PTN dapat menunjukkan bukti kepada pihak penilai kinerja tentang mutu dan efisiensi aktivitas mereka, dan dapat memberikan jaminan dan mutu kontrol kepada dan dari masyarakat.
Secara teoritis, ketaatan akuntansi juga merupakan kewajiban. Sebab, jika laporan keuangan dibuat tanpa mengikuti aturan akuntansi yang berlaku, keadaan tersebut dinyatakan sebagai suatu bentuk kegagalan dan akan menimbulkan kecenderungan kecurangan atau perilaku tidak etis yang tidak dapat atau sulit ditelusuri auditor.
Ketaatan aturan akuntansi dipandang sebagai tingkat kesesuaian prosedur pengelolaan aset organisasi, pelaksanaan prosedur akuntansi, dan penyajian laporan keuangan beserta semua bukti pendukungnya, dengan aturan yang ditentukan oleh BPK dan/atau SAP (PP RI Nomor 24/2005. Dinyatakan mentaati aturan akuntansi jika PTN telah menerapkan persyaratan pengungkapan, menyajikan informasi yang bermanfaat bagi kepentingan publik, objektif, memenuhi syarat kehati-hatian dan memenuhi konsep konsistensi penyajian (PSAK no. 1, IAI, 2004).
Persyaratan pengungkapan menjelaskan bahwa setiap entitas akuntansi di lingkungan pemerintah diharapkan menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan dan laporan kinerja. Laporan keuangan terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, sedangkan laporan kinerja berisi ringkasan tentang keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program. Laporan-laporan tersebut dibuat dalam bentuk dan dengan isi sesuai SAP supaya kinerja organisasi antar periode dapat dibandingkan.
Melalui laporan keuangan dan kinerja suatu entitas akuntansi menyajikan laporan keuangan yang bermanfaat bagi publik jika dengan itu pimpinan dapat menunjukkan pertanggungjawaban atas tugas-tugasnya dan menempatkan kepentingan pemakai pada skala prioritas, sedangkan konsep konsisten penyajian menjelaskan bahwa penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan dan laporan kinerja antar periode konsisten sesuai.








B.      Contoh Kasus Kecurangan (Fraud) Dan Cara Penyelesaiannya
Di dalam kasusnya, Fraud bisa terjadi dimana saja, dan kapan saja tergantung kesempatan yang ada yang di pergunakan untuk berbuat kecurangan tersebut. Dalam penanganan kasus ini yang akan kita bahas adalah mengenai Fraud dalam pembelian yang dilakukan kepada vendor atau pemasok.
Di dalam fraud pembelian ini, dilakukan dengan modus penggantian nomor rekening supplier, dengan alur fraud sebagai berikut:
  1. Data supplier diubah oleh pelaku;
  2. Perubahan hanya dilakukan pada nomor rekening beberapa supplier agar tidak timbul kecurigaan dari bagian keuangan perusahaan;
  3. Nomor rekening diubah menjadi  satu nomor rekening yang baru yang tidak lain adalah rekening milik pelaku;
  4. Transaksi dilakukan;
  5. Pembayaran otomatis  akan masuk ke nomor rekening baru milik pelaku  tersebut.

Dari kasus diatas ada beberapa saran yang harus dilakukan oleh pihak perusahaan, karna dalam kasus diatas yang mengalami kerugian adalah pihak perusahaan, karena perusahaan membayar atau mengirim uang ke rekening milik pelaku fraud.  Untuk mengatasinya diperlukan kontrol dari pihak yang bersangkutan terhadap penelitian tim penilik yang meneliti kelengkapan mengenai asset perusahaan, sehingga tidak ada manipulasi dari aset-aset perusahaan tersebut, dan juga harus ada pengecekan berkala terhadap aset-aset perusahaan tersebut. Pihak perusahaan juga harus menerapkan peraturan yang baku mengenai manipulasi, sehingga kemungkinan adanya penyelewengan bisa berkurang.












Kesimupulan

      Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kejahatan melalui kecurangan ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dan dalam kasusnya fraud bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tergantung dari kesempatan yang ada, karna adanya kesempatan itulah menyebabkan pelaku bisa leluasa mekalukan fraud.
      Tidak hanya ada kesempatan saja fraud bisa terjadi, namun faktor kadang kala ekonomi juga bisa menyebabkan fraud ini terjadi, karna dalam modusnya fraud ini bisa memberikan keuntungan yang besar bagi si pelaku dan tapi dengan cara yang tidak diperkenankan.
      Untuk menanggulangi itu semua dibutuhkan sebuah komitmen dari seorang manajer untuk mencegah terjadinya fraud di dalam sebuah perusahaan, dan dengan dibuatnya juga aturan-aturan yang baku mengenai fraud tersebut, agar para pelaku fraud ini bisa mengurungkan niatnya untuk melakukan kecurangan. Selain itu dibutuhkan seleksi yang ketat dalam memilih karyawan untuk menghindari fraud ini terjadi, misal : dengan tidak melihat skill dari calon karyawan saja, melainkan melihat keprofesionalannya dalam bertugas dan kejujuran serta ketaatannya perlu dilihat agar perusahaan tidak mendapat kerugian dari fraud tersebut.





























Daftar Pustaka

Oktaviani, Wyana. 2015. Pengaruh Pengendalian Internal Dalam Pencegahan Fraud. Bandung : UIB.
Ratmono, Dwi. Dapatkah Teori Fraud Triangle Dapat Menjelaskan Kecurangan Dalam Laporan Keuangan ?.2014.
Ratmono, Dwi. Determinan Kecurangan Laporan Keuangan : Pengujian Teori Fraud Triangle. 2014. Diponegoro Journal Of Accounting.
Purwitasari, Anggit. 2009. Pengaruh Pengendalian Internal Dan Komitmen Organisasi Pencegahan Fraud. Bandung.
Thoyibatun, Siti. 2009. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Tidak Etis Dan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi Serta Akibatnya Terhadap Kinerja Organisasi. Jurnal Ekonomi Dan Keuangan.
Najahningrum, Anik Fatun. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fraud : Persepsi Pegawai Dinas Provinsi DIY. Accounting Analysis Journal. 2013.
Sukirman. Model Deteksi Kecurangan Berbasis Fraud Triangle. Universitas Negri Semarang.
Ramaraya, Tri. 2008. Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan Oleh Auditor Eksternal. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan.
SAS no. 99, Fraud Risk Doctor.
SAS no. 82, The International Federation of Accountants (IFAC).  
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)

PP RI nomor 24, Tahun 2005.
Posted on by Akuntansi Publik | 1 comment

1 comment:

  1. gak bisa di download atau di copas ya. duh lagi butuh ini buat tugas

    ReplyDelete