ABSTRAK
Tujuan
makalah ini adalah mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan dalam
pendeteksian kecurangan dalam audit atas laporan keuangan oleh auditor.
Meskipun pendeteksian kecurangan penting untuk meningkatkan nilai pengauditan,
namun terdapat banyak masalah yang dapat menghalangi implementasi dari
pendeteksian yang tepat. Berdasarkan telaah atas berbagai penelitian yang telah
dilakukan, ada terdapat empat faktor penyebab besar yang diidentifikasikan
melalui makalah ini. Pertama, karakteristik terjadinya kecurangan sehingga
menyulitkan proses pendeteksian. Kedua, standar pengauditan belum cukup memadai
untuk menunjang pendeteksian yang sepantasnya. Ketiga, lingkungan kerja audit
dapat mengurangi kualitas audit dan keempat metode dan prosedur audit yang ada
tidak cukup efektif untuk melakukan pendeteksian kecurangan. Berdasarkan
permasalahan ini, perbaikan yang perlu disarankan untuk diterapkan.
Kata kunci: auditing,
fraud, fraud dalam Laporan Keuangan.
Latar Belakang
Di
Indonesia yang dikenal dengan negara berkembang telah banyak menciptakan
perusahaan-perusahaan yang pastinya akan membutuhkan karyawan, karyawan yang
dibutuhkan harus memenuhi sayarat agar bisa bekerja di perusahaan tersebut.
Namun demi keuntungan personal, para karyawan ini sering menyalah gunakan
pekerjaan mereka untuk menambah keuntungan mereka, untuk menambah keuntungan
mereka biasanya melakukan kecurangan (fraud).
Dalam
mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan
bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji (mistatement) yang material dan juga memberikan
keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan.
Kecurangan
atau biasa dikenal dengan fraud adalah suatu tindakan yang disengaja dan bertujuan untuk menipu atau merugikan orang lain. Fraud ini
sudah di kategorikan dalam kejahatan, karena Fraud dilakukan dengan sengaja
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang bisa menyebabkan kerugian
pada perusahaan, bahkan juga bisa membuat perusahaan itu bangkrut.
Terjadinya
kecurangan merupakan suatu tindakan yang disengaja yang tidak dapat terdeteksi
oleh suatu pengauditan, dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi
proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius dan membawa
banyak kerugian meski belum ada informasi yang spesifik di Indonesia.
Mengingat akan
arti pentingnya tanggung jawab auditor ini, maka makalah ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor penyebab kegagalan auditor dalam
pendeteksian kecurangan. Untuk melakukan hal di atas, pembahasan didasarkan
atas literatur-literatur profesional dan penelitian-penelitian empiris yang
berkaitan. Dari uraian ini diharapkan agar didapatkan gambaran jelas dan
komprehensif tentang masalah ini dan dapat digunakan untuk mengevaluasi
berbagai langkah untuk memperbaiki kinerja auditor dalam pendeteksian
kecurangan. Untuk menjawab pertanyaan permasalahan di atas bukan merupakan
tugas mudah mengingat literatur dalam bentuk opini maupun penelitian empiris
maupun rangkuman penelitian amat tersebar-sebar dan dalam skop atau lingkup
kecil. Dalam makalah ini, analisis dilakukan dengan memetakan secara
komprehensif faktor-faktor penyebab dan berdasarkan
faktor-faktor tersebut menganalisis upaya perbaikan yang mungkin diusulkan.
Landasan Teori
A. Fraud (Kecurangan)
Tindakan
kecurangan perusahaan (corporate fraud) merupakan
suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh pihak manajemen dan atau
pemilik perusahaan untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang telah
ditetapkan oleh pihak regulator.
Secara mendasar, kecurangan yang dilakukan
oleh perusahaan merupakan salah satu jenis kecurangan yang terjadi di sekitar
kita. Pada praktiknya, definisi dari kecurangan sendiri bisa beraneka ragam.
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), kecurangan (fraud) merupakan tindakan penipuan atau
kekeliruan yang dilakukan oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa
kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik kepada
individu atau entitas atau pihak lain. Merujuk pada definisi tersebut maka
secara umum kecurangan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan
orang-orang baik dari daam atau uar organisasi yang dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya yang dapat merugikan pihak
lainnya. Tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan baik secara spontan
maupun direncanakan.
1. Fraud Triangel
Seseorang bisa melakukan tindakan kecurangan
apabila dilandasi oleh tiga hal yaitu kesempatan (opportunity), tekanan atau
insentif (pressure or incentive) dan rasionalisasi (rationalization). Ketiganya
saling mendukung sama lain dan membentuk pilar
kecurangan yang disebut sebagai
segitiga kecurangan (fraud triangle). Elemen pertama dari
segitiga kecurangan adalah tekanan. Tekanan dapat diakibatkan oleh berbagai hal
termasuk tekanan yang bersifat finansial dan non finansial. Faktor finansial
muncul karena keinginan untuk memiliki gaya hidup yang berkecukupan secara
materi. Sedangkan faktor non finansial bisa mendorong seseorang melakukan fraud, yaitu tindakan untuk menutupi kinerja
yang buruk. Selain itu sifat dasar manusia yang serakah bisa jadi memberikan
tekanan secara internal sehingga mendorong seseorang melakukan tindakan
kecurangan.
Faktor
kecurangan yang kedua adalah kesempatan. Terbukanya kesempatan ini dikarenakan
si pelaku percaya bahwa aktivitas mereka tidak akan terdeteksi. Bahkan andaikan
aksi seseorang itu diketahui, maka tidak ada tindakan yang serius yang akan
diambil. Peluang ini terjadi biasanya terkait dengan lingkungan dimana
kecurangan memungkinkan untuk dilakukan. Sistem pengendalian internal yang
lemah, manajemen pengawasan yang kurang memadai serta prosedur yang tidak jelas
ikut andil dalam membuka peluang terjadinya kecurangan.
Elemen
ketiga dalam tindakan kecurangan adalah rasionalisasi. Hal ini merupakan
pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan. Para pelaku fraud biasanya mencari berbagai alasan secara
rasional untuk menjustifikasi tindakan mereka. Di Amerika Serikat, badan yang
menaungi para pemeriksa eksternal yang independen yaitu American Institute of Certified
Public Accountant (AICPA) mencoba mengadopsi konsep fraud triangle kedalam salah standar audit, yaitu SAS
No.99 tentang fraud risk factor. Dalam lingkup standar tersebut,
pihak auditor eksternal perlu mengidentifikasi dan mempertimbangkan
faktor-faktor risiko yang potensial menyebabkan klien audit mereka untuk
melakukan tindak kecurangan. Berdasarkan pilar kecurangan, apabila auditor
menemukan satu pilar saja hal tersebut sudah cukup untuk mengindikasikan
potensi terjadinya kecurangan.
Berikut
adalah ilustrasi untuk Fraud Triangel.
FRAUD TRIANGEL
|
Kesempatan
|
Rasionalisasi
|
Tekanan
|
|
2.
Perilaku Tidak Etis
Organisasi atau perusahaan sebagai badan hukum dipandang sebagai
individu. Berkenaan dengan status tersebut organisasi dituntut berperilaku etis
terhadap pekerja, konsumen, atau masyarakat pada umumnya. Hal demikian
dibuktikan dengan adanya berbagai tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Dilema etik sering muncul ketika pada saat yang
sama manajemen dituntut meningkatkan keuntungan organisasi dan memaksimalkan
manfaat yang bisa diperoleh konsumen melalui produk yang dihasilkan organisasi. Keadaan demikian
melahirkan perilaku tidak etis dan berbagai kebijakan bias.
Perilaku tidak etis adalah perilaku yang
menyimpang dari tugas pokok atau tujuan utama yang telah disepakati. Perilaku
tidak etis seharusnya tidak bisa diterima secara moral karena mengakibatkan
bahaya bagi orang lain dan lingkungan.
Dalam praktiknya perilaku tidak etis memiliki
pola yang rumit. Sebagai gejala kompleks perilaku tidak etis sangat bergantung
pada interaksi antara karakteristik personal dengan fenomena asosial yang
muncul, lingkungan, dan faktor psikologi yang kompleks.
Selain faktor tersebut perilaku tidak etis
juga dipicu oleh sistem gaji, keamanan atas risiko pekerjaan, perlindungan atas
kerahasiaan laporan keuangan. Jika perilaku tidak etis dibiarkan maka akan
berkembang menjadi bentuk kompleks yang sulit ditelusuri dan menimbulkan akibat
yang merugikan.
Menurut beberapa penelitian
yang dilakukan oleh suatu pihak tertentu yang menghasilkan jawaban bahwa perilaku
tidak etis dalam penelitian ini dikatakan sebagai perilaku yang menyalahgunakan
jabatan, sumber daya organisasi, kekuasaan, dan perilaku yang tidak berbuat
apa-apa sehubungan dengan jabatan dan kekuasaannya. Dikatakan Dallas (2002)
perilaku tidak etis mengakibatkan iklim kerja yang tidak sehat dan mendorong
timbulnya kecenderungan kecurangan akuntansi, serta mengganggu akuntabilitas
kinerja.
3. Kecenderungan Kecurangan
Akuntansi
Kecenderungan diartikan
sebagai ‘lebih tertarik pada...’ namun tidak selalu tertarik pada... (Daryanto,
1997), yang disimpulkan karena berbagai perilaku yang diperankan banyak
mengandung nilai-nilai yang menuju ke arah pada hal-hal yang dia tertarik tersebut.
Definisi tentang kecurangan
akuntansi bahwa mereka semua menfokuskan perhatian pada dua sumber risiko
kecurangan, yaitu laporan keuangan yang menipu dan ketidaktepatan aset.
Pada tahun 2001, IAI membedakan
antara kecurangan dan kekeliruan. Jika risiko itu timbul atas dasar tindakan
yang disengaja, diklasifikasikan sebagai kecurangan. Namun jika risiko timbul
karena perbuatan tidak sengaja, disebut sebagai kekeliruan.
Berdasar deskripsi tersebut
Kecenderungan Kecurangan Akuntansi diartikan sebagai adanya tindakan, kebijakan
dan cara, kelicikan, penyembunyian, dan penyamaran yang tidak semestinya secara
sengaja, yaitu dalam menyajikan laporan keuangan dan pengelolaan aset
organisasi yang mengarah pada tujuan mencapai keuntungan bagi dirinya sendiri
dan menjadikan yang lain sebagai pihak yang dirugikan.
Kecenderungan Kecurangan Aakuntansi
merupakan ancaman yang terus berkembang. Umumnya hal tersebut terjadi karena
tiga alasan (sebagai fraud triangle),
yaitu peluang (opportunit)y, insentif
dan tekanan (incentive and pressure), rasionali-
sasi dan sikap (rationalizaation and
attitude).
Peluang yang dimaksud
tergambar sebagai keadaan yang mendukung dan menyediakan kemungkinan bagi
dipilihnya tindakan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi. Insentif dan tekanan adalah
kondisi insentif atau adanya tekanan lain yang menjadi motivasi bagi pimpinan
atau pejabat untuk melakukan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi. Adapun
rasionalisasi adalah adanya pembenaran atau justifikasi dari pihak yang
terlibat kecenderungan kecurangan bahwa perilaku mereka adalah konsisten dengan
kode etik pribadi mereka. Sikap berarti bahwa individu yang terlibat memiliki
karakter atau nilai yang memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan
tersebut.
Bentuk kecurangan laporan keuangan menurut
IAI (2001) adalah:
(a) Manipulasi, pemalsuan,
atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya;
(b) Penyajian yang salah;
(c) Salah penerapan prinsip
secara sengaja;
(d) Ketidaktepatan aset.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kecurangan akuntansi oleh
pimpinan dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber penipuan baik
berupa pemalsuan atau penyembunyian bukti-bukti transaksi, penyajian informasi
dan laporan keuangan yang tidak benar, ataupun salah saji akibat perlakuan yang
tidak semestinya terhadap aset.
Sehubungan dengan laporan keuangan kecenderungan kecurangan
umumnya terjadi karena pengaruh lingkungan intern dan lingkungan ekstern. Hal
tersebut diungkap sehubungan dengan laporan keuangan dan pengelolaan aset
organisasi yang cenderung menyimpang dari Standar Profesional Akuntan Publik
atau SPAP 2001 seksi 316 (IAI, 2001) yang ditujukan untuk mencapai keuntungan
diri sendiri dan menjadikan pihak lain sebagai korban yang dirugikan.
Empat bentuk kecurangan di atas merupakan sinyal adanya Kecenderungan
Kecurangan Akuntansi, karena berdasar PSAK No.1 (IAI, 2004) disebutkan bahwa
pimpinan berkewajiban menetap- kan kebijakan akuntansi sehingga bisa memberikan
kepastian bahwa laporan keuangan yang dibuatnya menyajikan informasi dengan
relevan dan handal.
4. Kesesuaian Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Intern diimplementasikan
pada suatu organisasi melalui berbagai kebijakan dan prosedur untuk memberikan
jaminan bahwa tujuan-tujuan perusahaan dapat dicapai dan untuk mengurangi
kerugian atas kemungkinan terjadinya eksposur (ancaman keamanan informasi).
Kebutuhan Sistem Pengendalian Intern meningkat sehubungan dengan meningkatnya
perkembangan dan bentuk eksposur. Salah satu bentuk eksposur adalah penggelapan
dan kecurangan akuntans.
Bagi PTN yang berbentuk BHMN kepemilikan Sistem
Pengendalian Intern yang memadai dibuktikan dengan sebuah sertifikat dan tidak
demikian halnya dengan PTN yang belum BHMN. Namun, secara jelas BPK menegaskan bahwa
semua PTN wajib menjalankan Sistem Pengendalian Intern secara memadai (BPK RI,
2007).
Kesesuaian Sistem Pengendalian
Intern yang dikembangkan tercapai jika bentuk Sistem Pengendalian Intern yang
dikembangkan dan usaha orang-orang yang terlibat selaras dengan maksud memberi
jaminan yang memadai bahwa tujuan organisasi akan terealisasi.
5. Sistem Kompensasi
Kompensasi merupakan komponen biaya yang
dibayarkan oleh organisasi pada karyawan. Bagi karyawan kompensasi merupakan
faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan, sedang bagi organisasi kompensasi
merupakan komponen biaya yang mempengaruhi tingkat efisiensi dan
profitabilitas. Oleh karena itu, organisasi perlu hati-hati dalam mengontrol
dan mendesain kompensasi supaya kedua kepentingan tersebut dapat diakomodasi.
Hal tersebut merupakan tantangan bagi organisasi untuk membuat sistem
kompensasi yang mampu mendorong karyawan berprestasi secara optimal.
Sehubugnan dengan hal
tersebut dalam mendesain sistem kompensasi perlu diingat bahwa salah satu
tujuan karyawan memberikan kinerja terbaiknya pada perusahaan adalah guna
memperoleh kompensasi yang diinginkan. Sebaliknya, perusahaan akan memberi
kompensasi karyawan lebih tinggi bila karyawan bisa memberikan sumbangan yang
signifikan pada pencapaian tujuan perusahaan. Sejalan dengan keadaan tersebut
dapat dijelaskan bahwa jika sistem kompensasi hanya didasarkan atas kinerja
fisik yang secara langsung diukur dengan satuan uang saja, akan mendorong iklim
kerja yang kering nilai budi pekerti.
Alasannya, dasar kompensasi
tersebut mendorong karyawan hanya berorientasi pada nilai uang yang mereka
harapkan dan mengabaikan nilai etika. Pendapat demikian dibuktikan kembali, bahwa
kompensasi yang dibayar berhubungan negatif dengan independensi dewan direksi.
6. Ketaatan Aturan Akuntansi
Penyajian laporan akuntansi oleh organisasi
merupakan kewajiban sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab yang telah
didelegasikan kepada pimpinan. Untuk itu maka ada dua kebutuhan yang perlu dipenuhi,
yaitu kebutuhan pemakai (sebagai pihak ekstern) dan pimpinan selaku pihak
pengelola aset dan penyaji laporan keuangan.
Dari pihak ekstern, pemakai laporan keuangan
terdiri atas banyak pihak seperti investor, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok,
kreditor, pelanggan, pemerintah, dan masyarakat. Mereka memiliki kebutuhan
informasi berbeda-beda yang harus dipenuhi. Untuk itulah, laporan keuangan disajikan
secara umum, namun harus memenuhi kualitas tertentu.
Agar kualitas di atas dapat
dipenuhi, SPAP (IAI, 2001) menunjukkan bahwa laporan keuangan yang disajikan
harus bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan
ataupun karena kecurangan. Dalam hal ini pimpinan PTN bertanggung jawab untuk
menerapkan kebijakan akuntansi yang sehat serta mengikuti prosedur pengelolaan aset
dan prosedur pencatatan secara konsisten.
Penggunaan aturan akuntansi
oleh pimpinan PTN sekaligus dapat memenuhi kebutuhannya untuk mempertahankan
kua- litas dirinya selaku penerima amanah. Sebab melalui prosedur kerja dan
pelaporan keuangan yang sesuai aturan akuntansi, pimpinan PTN dapat menunjukkan
bukti kepada pihak penilai kinerja tentang mutu dan efisiensi aktivitas mereka,
dan dapat memberikan jaminan dan mutu kontrol kepada dan dari masyarakat.
Secara teoritis, ketaatan akuntansi juga
merupakan kewajiban. Sebab, jika laporan keuangan dibuat tanpa mengikuti aturan
akuntansi yang berlaku, keadaan tersebut dinyatakan sebagai suatu bentuk
kegagalan dan akan menimbulkan kecenderungan kecurangan atau perilaku tidak
etis yang tidak dapat atau sulit ditelusuri auditor.
Ketaatan aturan akuntansi dipandang sebagai
tingkat kesesuaian prosedur pengelolaan aset organisasi, pelaksanaan prosedur
akuntansi, dan penyajian laporan keuangan beserta semua bukti pendukungnya,
dengan aturan yang ditentukan oleh BPK dan/atau SAP (PP RI Nomor 24/2005.
Dinyatakan mentaati aturan akuntansi jika PTN telah menerapkan persyaratan pengungkapan,
menyajikan informasi yang bermanfaat bagi kepentingan publik, objektif,
memenuhi syarat kehati-hatian dan memenuhi konsep konsistensi penyajian (PSAK
no. 1, IAI, 2004).
Persyaratan pengungkapan menjelaskan bahwa
setiap entitas akuntansi di lingkungan pemerintah diharapkan menyajikan laporan
keuangan yang terdiri atas laporan keuangan dan laporan kinerja. Laporan
keuangan terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan
catatan atas laporan keuangan, sedangkan laporan kinerja berisi ringkasan
tentang keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing
program. Laporan-laporan tersebut dibuat dalam bentuk dan dengan isi sesuai SAP
supaya kinerja organisasi antar periode dapat dibandingkan.
Melalui laporan keuangan
dan kinerja suatu entitas akuntansi menyajikan laporan keuangan yang bermanfaat
bagi publik jika dengan itu pimpinan dapat menunjukkan pertanggungjawaban atas
tugas-tugasnya dan menempatkan kepentingan pemakai pada skala prioritas,
sedangkan konsep konsisten penyajian menjelaskan bahwa penyajian dan
klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan dan laporan kinerja antar periode
konsisten sesuai.
B. Contoh Kasus
Kecurangan (Fraud) Dan Cara Penyelesaiannya
Di dalam kasusnya, Fraud
bisa terjadi dimana saja, dan kapan saja tergantung kesempatan yang ada yang di
pergunakan untuk berbuat kecurangan tersebut. Dalam penanganan kasus ini yang
akan kita bahas adalah mengenai Fraud dalam pembelian yang dilakukan kepada
vendor atau pemasok.
Di dalam fraud pembelian
ini, dilakukan dengan modus penggantian nomor rekening supplier, dengan alur
fraud sebagai berikut:
- Data supplier diubah oleh pelaku;
- Perubahan hanya dilakukan pada nomor rekening beberapa supplier
agar tidak timbul kecurigaan dari bagian keuangan perusahaan;
- Nomor rekening diubah menjadi
satu nomor rekening yang baru yang tidak lain adalah rekening milik
pelaku;
- Transaksi dilakukan;
- Pembayaran otomatis akan
masuk ke nomor rekening baru milik pelaku
tersebut.
Dari kasus diatas ada beberapa saran yang harus
dilakukan oleh pihak perusahaan, karna dalam kasus diatas yang mengalami
kerugian adalah pihak perusahaan, karena perusahaan membayar atau mengirim uang
ke rekening milik pelaku fraud. Untuk
mengatasinya diperlukan kontrol dari pihak yang bersangkutan terhadap
penelitian tim penilik yang meneliti kelengkapan mengenai asset perusahaan,
sehingga tidak ada manipulasi dari aset-aset perusahaan tersebut, dan juga
harus ada pengecekan berkala terhadap aset-aset perusahaan tersebut. Pihak
perusahaan juga harus menerapkan peraturan yang baku mengenai manipulasi,
sehingga kemungkinan adanya penyelewengan bisa berkurang.
Kesimupulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa
kejahatan melalui kecurangan ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dan dalam
kasusnya fraud bisa terjadi kapan saja dan dimana saja tergantung dari
kesempatan yang ada, karna adanya kesempatan itulah menyebabkan pelaku bisa
leluasa mekalukan fraud.
Tidak hanya ada kesempatan saja fraud bisa
terjadi, namun faktor kadang kala ekonomi juga bisa menyebabkan fraud ini
terjadi, karna dalam modusnya fraud ini bisa memberikan keuntungan yang besar
bagi si pelaku dan tapi dengan cara yang tidak diperkenankan.
Untuk menanggulangi itu semua dibutuhkan
sebuah komitmen dari seorang manajer untuk mencegah terjadinya fraud di dalam
sebuah perusahaan, dan dengan dibuatnya juga aturan-aturan yang baku mengenai
fraud tersebut, agar para pelaku fraud ini bisa mengurungkan niatnya untuk melakukan
kecurangan. Selain itu dibutuhkan seleksi yang ketat dalam memilih karyawan
untuk menghindari fraud ini terjadi, misal : dengan tidak melihat skill dari
calon karyawan saja, melainkan melihat keprofesionalannya dalam bertugas dan
kejujuran serta ketaatannya perlu dilihat agar perusahaan tidak mendapat
kerugian dari fraud tersebut.
Daftar
Pustaka
Oktaviani, Wyana. 2015. Pengaruh
Pengendalian Internal Dalam Pencegahan Fraud. Bandung : UIB.
Ratmono, Dwi. Dapatkah Teori Fraud
Triangle Dapat Menjelaskan Kecurangan Dalam Laporan Keuangan ?.2014.
Ratmono, Dwi. Determinan Kecurangan
Laporan Keuangan : Pengujian Teori Fraud Triangle. 2014. Diponegoro Journal Of
Accounting.
Purwitasari, Anggit. 2009. Pengaruh
Pengendalian Internal Dan Komitmen Organisasi Pencegahan Fraud. Bandung.
Thoyibatun, Siti. 2009. Faktor-Faktor
Yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Tidak Etis Dan Kecenderungan Kecurangan
Akuntansi Serta Akibatnya Terhadap Kinerja Organisasi. Jurnal Ekonomi Dan
Keuangan.
Najahningrum, Anik Fatun. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Fraud : Persepsi Pegawai Dinas Provinsi DIY. Accounting
Analysis Journal. 2013.
Sukirman. Model Deteksi Kecurangan
Berbasis Fraud Triangle. Universitas Negri Semarang.
Ramaraya, Tri. 2008. Pendeteksian Kecurangan
(Fraud) Laporan Keuangan Oleh Auditor Eksternal. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan.
SAS no. 99, Fraud Risk Doctor.
SAS no. 82, The International Federation of Accountants (IFAC).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
PP RI nomor 24, Tahun 2005.
gak bisa di download atau di copas ya. duh lagi butuh ini buat tugas
ReplyDelete