Wednesday, 6 January 2016

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI ALOKASI SUBSIDI BBM oleh Yogy Arendra ( B200140265 )



Abstrak
Peningkatan jumlah kendaraan dan di Indonesia menyebabkan jumlah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat. Hal ini berdampak negatif pada jumlah persediaaan BBM diperut bumi yang semakin menipis sehingga menyebabkan bahan bakar minyak semakin langka. Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri menyebabkan perubahan perekonomian secara drastis. Kenaikan BBM ini akan diikuti oleh naiknya harga barang-barang dan jasa-jasa di masyarakat. Kenaikan harga barang dan jasa ini menyebabkan tingkat inflasi di Indonesia mengalami kenaikan dan mempersulit perekonomian masyarakat terutama masyarakat yang berpenghasilan tetap.Salah satu upaya pemerintah untuk menekan tingkat konsumsi BBM adalah mengevalusi kebijakan subsidi BBM di Indonesia. Perkembangan kebijakan subsidi BBM dari pemerintah berdampak pada beragamnya perilaku dan pola masyarakat dalam mengkonsumsi BBM













Latar Belakang
Bahan bakar minyak atau yang lebih kita kenal dengan nama “BBM” merupakan suatu komoditas yang sangat berperan penting dalam kegiatan perekonomian. Sebagaimana yang kita ketahui, saat ini bangsa kita sedang mengalami masalah naiknya harga bahan bakar minyak. Ini dikarenakan permintaan masyarakat akan BBM yang membubung tinggi sementara penyediaan barang mengalami kekurangan yang membuat harga barang tersebut menjadi naik dan timbulnya inflasi. Kenaikan harga BBM memperberat beban hidup masyarakat terutama mereka yang berada di kalangan bawah dan juga para pengusaha, karena kenaikan bbm menyebabkan turunnya daya beli masyarakat dan itu akan mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan sehingga akan menurunkan tingkat penjualan yang pada akhirnya juga akan menurunkan laba perusahaan.
Naiknya harga BBM di indonesia diawali oleh naiknya harga minyak dunia. yang membuat pemerintah tidak dapat menjual BBM kepada masayarakat dengan harga yang sama dengan harga sebelumnya, karena hal itu dapat menyebabkan pengeluaran APBN untuk subsidi minyak menjadi lebih tinggi. Maka pemerintah mengambil langkah untuk menaikkan harga BBM. Dan untuk mengimbangi masalah melonjaknya harga BBM setiap tahunnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi BBM. Kebijakan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) bertujuan mengatasi kelebihan beban APBN. Sebab jika tidak, APBN dipastikan akan mengalami penurunan yang berdampak langsung pada mandeknya pembangunan nasional.
Setelah sekian lama kebijakan subsidi BBM dijalankan , timbul berbagai kontravensi untuk segera menghentikan kebijakan subsidi bbm, karena setelah di lihat-lihat ternyata kebijakan subsidi ini tidak berjalan efektif dan jauh dari tujuan semula. Karena selama ini pemerintah terus memberi subsidi untuk BBM yang dikeluarkan dari APBN. Subsidi bbm yang melambung tinggi dan terus menekan APBN menyebabkan perekonomian indonesia semakin parah.




Pengertian Subsidi Bahan Bakar Minyak
BBM (bahan bakar minyak) adalah senyawa hidrokarbon yang dibentuk dari proses yang berlangsung dalam skala waktu geologis. Bahan bakar minyak sendiri merupakan hasil pengilangan dari minyak bumi (minyak mentah) yang telah melalui proses pemurnian dan pengubahan struktur serta komposisinya. Proses pemurnian dan pengubahan srtuktur serta komposisinya berlangsung di kilang minyak yang merupakan tempat pengolahah sekaligus distribusi awal BBM. BBM digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor terutama untuk jenis premium, pertamax, dan solar. Namun adapula yang digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti LPG dan minyak tanah.
Dalam skala kehidupan manusia, BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Artinya, suatu saat nanti akan habis dan sebelum habis harganya akan terus meningkat. Di Indonesia pemerintah menjalankan sebuah program yakni BBM bersubsidi untuk membantu rakyat kecil.
Subsidi ( disebut juga subvensi) adalah bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi. Sebagian subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor dalam suatu industri untuk mencegah kejatuhan industri tersebut (misalnya karena operasi merugikan yang terus dijalankan) atau peningkatan harga produknya atau hanya untuk mendorongnya mempekerjakan lebih banyak buruh (seperti dalam subsidi upah).
            Jadi BBM bersubsidi adalah bahan bakar minyak yang digunakan untuk kendaraan bermotor yang pembeliannya sebagian di tanggung oleh pemerintah melalui APBN ( Anggara Pendapatan Belanja Negara ) sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap rakyat miskin. Subsidi BBM dapat pula diartikan sebagai bayaran yang harus dilakukan oleh pemerintah pada Pertamina dalam simulasi dimana pendapatan yang diperoleh Pertamina dari tugas menyediakan BBM di tanah air adalah lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. BBM bersubsidi sangat membantu rakyat Indonesia dalam melakukan mobilisasi untuk kehidupn sehari-hari. BBM bersubsidi yang digunakan di Indonesia adalah bahan bakar minyak jenis premium.


Penyebab Terjadinya Kenaikan BBM
Tiga alasan pertama datang dari data ekonomi Indonesia sendiri yaitu inflasi, defisit transaksi berjalan yang kian membengkak dan pertumbuhan ekonomi
1.      Inflasi, tingkat inflasi masih bergerak relatif dan sempat menurun pada Juli sebsar 4,5 persen dari 6,7 persen pada Juni. Penurunan inflasi tersebut terjadi setahun setelah pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 22 persen-44 persen.
Meski begitu, risiko kenaikan harga BBM juga dapat terasa secara langsung. Pada Juli 2013, sebulan setelah SBY menaikkan harga BBM, tingkat inflasi menyentuh level tertinggi dalam empat tahun terakhir sebesar 8,61 persen.
2.      Defisit transaksi berjalan yang kian membengkak, defisit transaksi berjalan Indonesia yang tercatat masih tinggi atau 4,3 % dari PDB pada kuartal II.
Data CIMB menjelaskan, pembengkakan tersebut dipicu impor minyak yang terlalu tinggi. Para analis CIMB mengatakan, memangkas subsidi BBM dapat membuat penggunaannya semakin efisien.
3.      Pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang melambat tajam. Perekonomian Indonesia tercatat tumbuh 5,12 persen pada kuartal II-2014 atau yang paling lambat sejak 2009 khususnya karena ketegangan konflik Timur Tengah yang melambungkan harga minyak.
"Memangkas subsidi BBM dapat memberikan lebih banyak ruang fiskal pada pemerintah untuk mengalihkannya ke sektor infrastruktur dan secara bersamaan meningkatkan perekonomian masyarakat," ungkap para analis CIMB dalam laporannya.
Berikutnya, subsidi BBM tercatat lebih banyak dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas dan dianggap kurang tepat sasaran. Subsidi tersebut tak banyak dirasakan rakyat-rakyat kecil.
Pengaruh Kenaikan BBM Bersubsidi pada Berbagai Aspek
1.         Pengaruh kenaikan BBM terhadap kondisi perekonomian rakyat Indonesia
          Ketika kebijakan sudah diambil, maka akan mempengarui beberapa aspek di dalamnya, meskipun hanya sedikit. Akan tetapi perekonomian rakyat Indonesia yang tergolong di dominasi menengah kebawah, akan merasakan pengaruh yang sangat tinngi. Dimana BBM merupakan salah satu banah utama untuk mata pencaharian mereka, jika BBM naik maka sejumlah barang- barang kebutuhan pokok pun juga akan meningkat.
          Dari sektor ekonomi masyarakat, akan berdampak pada menurunya daya beli masyarakat karena kenaikan harga BBM maka akan dibarengi dengan kenaikan tarif listrik, transportasi dan berbagai jenis produk. Golongan masyarakat yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat miskin. Kebijakan pemerintah dalam memberikan bantuan langsung tunai sangat bermanfaat bagi golongan ini. Setidaknya dalam  jangka pendek ekonomi mereka dapat terbantu. Selanjutnya anggaran tersebut harus mampu dipergunakan dalam meningkatkan ekonomi mikro.  
          Kegiatan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri perlu ditingkatkan dan dipenuhi sehingga mengurangi impor, kemudian jika bisa produk kita di ekspor ke negara lain. Janganlah kita menjadi ketergantungan dengan barang impor terus.
2.         Pengaruh kenaikan BBM terhadap kondisi sosial rakyat Indonesia
          Kemudian terkait dengan dampak sosial adalah adanya anggapan bahwa Pemerintah hanya mementingkan kepentingan kelompok asing dan golongan kaya yang hanya mencari keuntungan bahkan aspek sosial yang selama ini terabaikan seperti fasilitas jalan raya yang banyak berlubang, bangunan sekolah banyak yang rusak, belum lagi persoalan sampah yang menumpuk tidak dikelola mengancam kesehatan.  Lambannya peran Pemerintah mengatasi aspek sosial ini akan menyulitkan pengambilan keputusan terkait kebijakan yang akan dibuat sehingga nantinya akan menjadi tidak optimal secara keseluruhannya.
 Ditinjau secara menyeluruh bahwa kehidupan masyarakat di kota dan daerah berbeda sehingga peran Pemerintah Pusat dan Daerah diharapkan dapat bersinergi dengan kondisi sosial yang nampak saat ini.
3.         Pengaruh kenaikan BBM terhadap kondisi politik rakyat Indonesia
          Dalam kehidupan politik yang sedang berkembang di masyarakat saat ini dilihat sebagai proses berjalannya demokrasi yang pluralis dengan beragamnya budaya dan suku telah membuat proses demokrasi di Indonesia dinilai sebagai suatu keberhasilan, namun masih terkendala dengan akses informasi yang memadai dan transparansi kinerja Pemerintah Pusat dan Daerah masih kurang memuaskan karena begitu banyaknya pejabat di Pemerintahan yang terjerat perkara hukum seperti korupsi, suap, dan kasus pidana lainnya. Pendapat publik terhadap kebijakan Pemerintah di DPR juga masih kurang memuaskan dengan masih banyaknya skandal anggota dewan yang terkait dengan korupsi, suap, bahkan opini publik banyak juga yang memberikan anggapan bahwa lembaga ini seolah tidak mewakili kepentingan rakyat tetapi telah menjadi mesin politik partai untuk meraih simpati rakyat guna pemilu selanjutnya namun tidak sedikit pula anggapan yang menilai bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang cerdas, berintegritas dan akuntabel yang akan menjadi ‘pioneer’ untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan Negara Indonesia.
4.             Pengaruh kenaikan BBM terhadap kondisi pendidikan rakyat Indonesia
          Biaya pendidikan terutama pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi akan semakin meningkat. Jangkauan masyarakat ekonomi rendah akan sulit untuk melanjutkan pendidikan karena terbatasnya pendapatan dan harga yang semakin tidak terjangkau. Fasilitas sekolah yang terbatas dan bangunan yang rusak juga masih banyak. Belum lagi di beberapa daerah jumlah sekolah tidak sebanding dengan jumlah penduduknya. Kebijakan pemerintah dengan memberikan dana BOS adalah sudah tepat. Subsidi BBM dapat juga perlu diprioritaskan pada pembangunan sekolah, fasilitas sekolah dan beasiswa pendidikan tinggi bagi anak yang berprestasi. SDM berpendidikan adalah investasi bangsa Indonesia kedepannya.             
          Pemerintah semestinya menyiapkan perencanaan jangka panjang dalam menyiapkan sumber daya manusia sehingga bisa di latih mencapai tujuan tertentu. Seperti contohnya kalau ingin membuat mobil maka kirimlah orang dalam jumlah tertentu untuk belajar ke Negara maju. Selanjutnya setelah selesai pendidikan mereka diberikan fasilitas untuk mengembangkan kemampuanya hingga mampu membuat pabrik sendiri. Dengan demikian maka tidak akan rugi mengirim orang belajar. Kenyataanya dari tahun 1970, program beasiswa seperti ini tidak jelas alurnya sehingga tenaga ahli yang sudah datang tidak diberdayakan dengan baik.
5.        Pengaruh kenaikan BBM terhadap kondisi kesehatan rakyat Indonesia
          Sektor kesehatan akan terkena dampaknya dimana biaya kesehatan yang meningkat menyebabkan jangkauan layanan kesehatan menjadi sulit. Ekonomi masyarakat yang rendah biasanya berhubungan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak sehat. Meningkatnya kejadian gizi kurang dan gizi buruk akibat terbatasnya pendapatan.
          Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah selain hanya memberikan jaminan kesehatan masyarakat juga memberikan pembinaan kesehatan pada masyarakat. Peranan puskesmas sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat harus dikembalikan peranan utamanya dala upaya pencegahan penyakit. Merevitalisasi program posyandu dalam membina kesehatan masyarakat dan mendeteksi secara dini tumbuh kembang anak.
Analisis Kebijakan Produksi BBM
Indonesia menggunakan mekanisme subsidi guna menekan harga eceran bahan bakar sejak 1967 (Dillon et al., 2008). Pada era 1980-an, ketika produksi minyak Indonesia lebih tinggi dibanding saat ini, subsidi bahan bakar lebih terjangkau, meskipun hal ini banyak menuai kritik karena subsidi energi menganggu sistem perekonomian secara keseluruhan.
Ketika harga minyak dunia meningkat pada 2005, pemerintah menghabiskan 24 persen dari pengeluaran totalnya untuk subsidi, dan, dari jumlah tersebut, 90 persennya dihabiskan untuk produk-produk bahan bakar (World Bank, 2007). Guna mengurangi pengeluarannya, pemerintah meningkatkan harga minyak tanah, bensin dan diesel di dalam negeri dua kali dalam kurun enam bulan pada 2005. Peningkatan harga pertama kali dilakukan pada Maret sebesar 29 persen (untuk harga bahan bakar), sementara yang kedua pada Oktober sebesar 114 persen (World Bank, 2007). Produksi minyak mentah Indonesia menurun sejak 1998 seiring menuanya umur sumur-sumur minyak terbesar di Indonesia. Pada 2004 Indonesia menjadi net importir minyak dan tidak lama setelah itu pemerintah menangguhkan keanggotaannya di Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC –Organization of Petroleum Exporting Countries) (EIA, 2011). Pada 2011, badan pengatur minyak dan gas bumi sektor hulu, BP Migas, memperkirakan cadangan minyak potensial dan terbukti hanya akan bertahan sampai 12 tahun, sedangkan untuk gas alam hanya bertahan sampai 46 tahun (BP Migas, 2011).
Pemerintah Indonesia menyubsidi dua dari empat bahan bakar utama di sektor transportasi Indonesia. Harga bahan bakar jenis Premium dan Solar dipatok di bawah harga pasar oleh pemerintah dan hanya berubah sesekali saja tanpa jangka waktu yang teratur. Premium dan Solar didistribusikan oleh Perusahaan Minyak Nasional (Pertamina), sedangkan bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi, yakni Pertamax dan Pertamax Plus (atau produk yang setara), disediakan oleh Pertamina dan beberapa perusahaan multinasional dengan harga yang disesuaikan secara berkala dengan perkembangan harga minyak internasional (sebagai contoh, Pertamina biasanya memperbarui harga Pertamax dua kali dalam tiap bulan). Saat ini, Pemerintah tidak lagi mensubsidi bahan bakar untuk sektor industri.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2012 mengalokasikan sebesar Rp202 Triliun, atau US$22 miliar, untuk subdisi bahan bakar dan listrik. Jumlah ini lebih tinggi daripada anggaran untuk pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan sosial secara keseluruhan. Anggaran yang direncanakan untuk 2013 memperkirakan bahwa anggaran untuk subsidi energi akan membengkak mencapai Rp275 Triliun (US$20 miliar), atau 24 persen dari total pengeluaran yang direncanakan oleh pemerintah pusat.

Eksternal Environment
a.      Competition
Harga bahan bakar fosil yang rendah karena direkayasa membuat sumber energi alternatif sulit untuk bersaing secara komersial. Sumber alternatif ini memang terlihat memiliki kelebihan dari sudut pandang ekonomi dan lingkungan, namun terpaksa harus kalah karena subsidi yang diberikan kepada sumber energi pesaingnya. Oleh karena itu, subsidi dapat menghambat perkembangan teknologi baru yang lebih menjanjikan daripada teknologi yang ada saat ini.
Harga bahan bakar di Indonesia termasuk salah satu yang termurah di dunia. Negara-negara lain dengan harga yang paling rendah adalah negara-negara pengekspor minyak. Di antara negara-negara anggota ASEAN, Indonesia adalah negara dengan harga bahan bakar bersubsidi yang paling murah. Meskipun Premium adalah bahan bakar yang paling rendah kualitasnya (RON 88), Premium adalah jenis bahan bakar minyak yang paling banyak dikonsumsi oleh banyak masyarakat di Indonesia.

b.      Change (pertambahan SDM dan Jumlah kendaraan)
Ketergantungan konsumsi energi nasional yang sangat besar terhadap BBM (sekitar 70 persen) merupakan akar penyakit subsidi BBM. Dibandingkan minyak bumi, gas bumi dan batubara adalah sumber daya energi yang banyak terkandung di Tanah Air. Potensi panas bumi Indonesia terbesar di dunia potensi energi terbarukan pun cukup besar. Pemanfaatan mereka sangat rendah. Diversifikasi energi secara konsisten mesti dilakukan untuk menurunkan ketergantungan konsumsi energi nasional terhadap BBM. Substitusi terhadap BBM perlu diupayakan di berbagai pemakaian, misalnya pembangkitan listrik. Pangsa penggunaan sumber-sumber energi non-BBM seperti gas bumi, batubara dan panas bumi (geothermal) mesti diperbesar, untuk mengurangi konsumsi BBM yang semakin tinggi di Indonesia.
Konsumsi BBM tumbuh pesat di Tanah Air, mencapai sekitar 60 juta liter setahun. Peningkatan konsumsi BBM tidak diikuti produksi minyak mentah dalam negeri. Sebagian minyak mentah harus diimpor. Penambahan kapasitas kilang hampir tidak dilakukan. Sebagai akibatnya impor BBM meningkat. Peningkatan impor BBM dan minyak mentah melonjakkan biaya pengadaan dan subsidi BBM.
Permintaan bahan bakar minyak dalam negeri berbanding terbalik dengan harga BBM dalam negeri. Artinya, penurunan permintaan BBM dalam negeri tidak terlepas dari kenaikan harga BBM dalam negeri, dan sebaliknya kenaikan permintaan BBM karena turun atau stabilnya harga BBM dalam negeri. Akan tetapi selain faktor harga, kenaikan permintaan BBM juga diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1.      Bertambahnya penggunaan kendaraan bermotor baik roda 4, bis, truk maupun roda 2 setiap tahunnya. Sampai dengan saat ini jumlah kendaraan bermotor di seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari 20 juta yang 60% adalah sepeda motor sedangkan pertumbuhan populasi untuk mobil sekitar 3-4% dan sepeda motor lebih dari 4% per tahun (data dari Departemen Perhubungan). Menurut data tersebut pertumbuhan pasar penjualan kendaraan baru untuk roda 4 naik hampir 25 % pada tahun 2003. Sedangkan pertumbuhan pasar penjualan sepeda motor naik hampir 35 % pada tahun 2003.
2.      Pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi, sebagai akibat dari penggunaan BBM (seperti minyak tanah) yang semakin tinggi pula.
3.      Penambahan mesin-mesin industri bagi pihak perusahaan (terutama pihak swasta).
4.      Energi pembangkit listrik yang baru dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
5.      Dan faktor-faktor lainnya seperti terjadi penyalahgunaan BBM pada sektor industri dan pertambangan.

c.       Presure (Tekanan kelompok pendukung dan penekan)
Yaitu tekanan ekonomi RAPBN, peningkatan konsumsi karena subsidi, dan masalah keadilan distribusi. Mereka yang setuju umumnya lebih m e n g e d e p a n k a n rasionalitas ekonomi pasar bahwa subsidi BBM akan semakin membebani ekonomi, menimbulkan pemborosan dan inefisiensi dan kontraksi ekonomi, sehingga peran negara dalam intervensi ekonomi perlu dikurangi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Sementara, mereka yang tidak setuju lebih menggunakan pendekatan kesejahteraan, melihat dampak pengurangan subsidi terhadap merosotnya kesejahteraan rakyat. Pengurangan peran negara dalam intervensi ekonomi, khususnya pengurangan subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, dilihan akan memicu munculnya berbagai masalah sosial, mengingat peningkatan kesejahteraan rakyat tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada bekerjanya ekonomi pasar tetapi hal itu sangat tergantung dari peran atau intervensi negara. Mereka yang pertama lebih pro-ekonomi pasar, sedangkan mereka yang kedua lebih pro-kesejahteraan.

 Internal Environment
a.      Employment
Penguasaan tampuk produksi strategis oleh orang-seorang ini memungkinkan akumulasi kekayaan oleh segelintir orang, sementara kebanyakan yang lainnya tertinggal dalam kesusahan. Derajat ketimpangan meningkat, di mana indeks gini tahun 1999 yang sebesar 0,31 menjadi sebesar 0,37 pada tahun 2009. Pada tahun yang sama BPS merilis bahwa 40% penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 21,22% total pendapatan, sedangkan 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi menikmati 41,24% total pendapatan
Sudah begitu, taraf kesejahteraan sebagian warga bangsa masih berada di titik yang sungguh memprihatinkan. BPS mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan di bawah Rp. 7000,- per orang per hari pada tahun 2010 adalah sebanyak 31,02 juta atau 13,33% dari penduduk keseluruhan. Dengan ukuran kemiskinan Bank Dunia maka nilai tersebut akan menjadi hampir 3 kali lipatnya.
Ketimpangan struktur penguasaan faktor produksi akan selalu berimplikasi pada ketimpangan akses konsumsi. Akan selalu terjadi orang kaya yang mendominasi konsumsi terhadap barang-barang dan jasa publik, baik bandara, jalan tol, kepolisian, perbankan, anggaran negara, bahkan termasuk keberadaan pemerintahan itu sendiri. Tanpa merunut pada akar ketimpangan akibat penguasaan tampuk produksi kolektif oleh orang-seorang ini maka berbagai treatment konsumsi BBM terhadap masyarakat tidak selalu dapat dibenarkan.
b.      Resource
Sesuai dengan Peraturan Presiden RI No.5/2006 tentang kebijakan energi nasional (KEN) maka pemanfaatan minyak bumi harus ditekan dari 51,6% saat ini menjadi hanya 20% pada tahun 2025. Sementara itu peranan dari gas bumi, batubara, energi baru dan terbarukan (EBT) harus ditingkatkan. Selanjutnya diamanatkan pula pada blue printpengelolaan energi nasional (BP-PEN) bahwa peranan dari EBT, khususnya biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin harus menjadi >5% terhadap total konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi kita untuk memanfaatkan EBT yang sumbernya cukup berlimpah di tanah air khususnya tenaga surya dan tenaga angin. Radiasi surya (matahari) hampir merata di seluruh wilayah Indonesia dengan nilai insolasi rata-rata sekitar 4,5 kWh/m2/hari, sedangkan tenaga angin banyak terdapat di wilayah Indonesia bagian timur dengan hal ini merupakan sumber energi.
c.       Social
Dalam Pasal 33 ayat (2) disebutkan jelas bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Sementara pada ayat (3) disebutkan “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Minyak dan gas sebagai barang publik (common property) maka idealnya berlaku kepemilikan bersama (common ownership), sehingga setiap orang memiliki aksesi terhadap sumber daya tersebut (Shadr, 2007 dan Baidhawy, 2007).
d.      Politic
Politik demokrasi memberikan jaminan kepastian bekerjanya hak-hak warga negara dalam pembangunan. Dalam kasus kebijakan subsidi BBM hal ini penting dijadikan pijakan untuk memberikan jaminan kepastian bekerjanya sistem ekonomi dan sekaligus pemenuhan hak kesejahteraan penduduk. Demokrasi tidak menolak liberalisme ekonomi. Kepentingan individual dan hak-hak melekat padanya, sebagaimana ditekankan dalam ekonomi liberal, diakui dalam demokrasi. Demokrasi menekankan kebebasan setiap warga negara dalam berusaha untuk mengejar kepentingan ekonomi dan sekaligus mengakui hak-hak penduduk dalam kehidupan politik dan sosial-ekonomi. Penggunaan kebebasan dan hak-hak dasar ini diakui dan dijamin dalam demokrasi, sebagai fondasi penting bagi bekerjanya sistem politik demokrasi.
e.       Law
Kebijakan Pemerintah tentu dasar hukumnya, apabila dilanggar oleh  Pemerintah akan ada konsekuensinya. Begitu juga harga BBM “bersubsidi” yang  diatur dalam UU No, 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.  Pasal yang terpenting yang berkaitan dengan BBM bersubsidi adalah Pasal 7 ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 7
(1)  Subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 direncanakan sebesar Rp123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh puluh empat juta rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 KL (empat puluh juta kiloliter).



(2)  Dari volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 KL (empat puluh juta kiloliter) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebanyak 2.500.000 KL (dua juta lima ratus ribu kiloliter) BBM jenis premium tidak dicairkan anggarannya dan akan dievaluasi realisasinya dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012.

(3)  Dalam hal hasil evaluasi volume BBM jenis premium sebanyak 2.500.000 KL (dua juta lima ratus ribu kiloliter) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dihemat dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, anggaran dari penghematan volume BBM jenis premium tersebut akan dialihkan untuk belanja infrastruktur, pendidikan, dan cadangan risiko fiskal dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012.

(4)  Pengendalian anggaran subsidi BBM jenis tertentu dan bahan bakar gas cair (liquefied petroleum gas(LPG)) tabung 3 (tiga) kilogram dalam Tahun Anggaran 2012 dilakukan melalui pengalokasian BBM bersubsidi secara lebih tepat sasaran dan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.

(5)  Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) untuk perhitungan subsidi BBM jenis tertentu sebesar 5% (lima persen).

(6)  Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.



Dengan demikian Pasal 7 ayat 6 jelas UU No. 22 Tahun 2011  menyatakan bahwa “Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan”. Apabila Pasal 7 ayat 6 ini tidak dicabut, maka Pemerintah tidak mempunyai dasar hukum untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dari Rp 4,500 menjadi Rp 6,000 pada 1 April 2012 ini.  Karena UU dibuat oleh Pemerintah dan DPR maka perubahan UU pun atau revisi UU harus melalui pengesahan antara DPR dan Pemerintah.


Cost and Benefit (Analisis Ekonomi)
Apakah subsidi menguntungkan rakyat miskin?
Data dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar manfaat subsidi justru dinikmati oleh golongan berpendapatan tinggi (golongan atas atau mampu). Karena subsidi bahan bakar dijalankan berdasarkan hitungan liter, dan tidak didasarkan pada perbedaan penghasilan, maka kalangan yang paling banyak menggunakan bahan bakarlah yang paling mendapatkan manfaat paling banyak dari subsidi. Konsumen energi terbesar adalah masyarakat golongan atas dan masyarakat di daerah perkotaan.
Dengan menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2009, World Bank (2011) menunjukkan bahwa keperluan rumah tangga dan pribadi mengkonsumi sepertiga dari total subsidi BBM. Dua pertiga sisanya tersalur ke penggunaan transportasi komersial dan kegiatan usaha tersebut juga menemukan bahwa kalangan masyarakat atas yang berpenghasilan tinggi mengkonsumsi 84 persen bensin bersubsidi, dengan sepersepuluh kalangan terkaya mengkonsumsi hampir 40 persen dari total BBM bersubsidi. Sebaliknya, sepersepuluh kalangan termiskin tercatat hanya mengkonsumsi kurang dari 1 persen total BBM bersubsidi. Analisis lebih mendalam atas data survei sektor rumah-tangga juga menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga kalangan miskin dan hampir miskin (didefiniskan sebagai sepersepuluh dari lima terbawah) tidak mengkonsumsi bensin sama sekali.

a.      Efektivitas
Pemerintah Indonesia menyubsidi BBM dan listrik agar harga energi dapat dijangkau, khususnya oleh kalangan berpendapatan rendah (Kementerian Keuangan, 2010b). Subsidi energi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat melalui dua cara. Dampak langsungnya adalah, dengan mengeluarkan biaya lebih sedikit untuk BBM, masyarakat akan memiliki sisa pendapatan yang lebih besar untuk keperluan lain. Sementara itu, dampak tidak langsung penerapan subsidi energi adalah lebih murahnya biaya barang dan jasa yang dapat dibeli oleh masyarakat karena subsidi menekan biaya-biaya energi yang harus dikeluarkan produsen, distributor, dan penyedia layanan.



b.      Negatif Impact
Subsidi BBM dapat mempengaruhi ekonomi melalui beberapa cara. Dampak yang sudah terlihat adalah beban pada anggaran negara. Selain itu, masih ada pula dampak-dampak penting lain yang sifatnya lebih sulit untuk diketahui. Dengan merakayasa harga energi supaya lebih murah, subsidi mendorong terjadinya konsumsi berlebihan dan penggunaan yang tidak efisien. Harga yang lebih rendah juga mempengaruhi keputusan penanaman modal, karena hal tersebut menghambat diversifikasi energi dan mengurangi insentif bagi para pemasok energi untuk membangun infrastruktur baru. Dampak penting ekonomi dari pengadaan subsidi bahan bakar dibahas lebih lanjut pada bagian berikut.

·         Peningkatan impor energi
Konsumsi energi bersubsidi secara berlebihan mengakibatkan peningkatan permintaan BBM impor dan pengurangan jumlah energi yang diproduksi secara domestik yang ditujukan untuk ekspor. Oleh karena itu, subsidi dapat merusak keseimbangan neraca pembayaran dan meningkatkan ketergantungan suatu negara terhadap impor energi (Mourougane, 2010).
Jurang lebar antara harga BBM bersubsidi dan non-subsidi mendorong konsumen untuk beralih dari BBM non-subsidi Pertamina, atau “Pertamax” (kadar oktan 92), ke “Premium” (kadar oktan 88). Pada kuartal pertama 2011, pemerintah melaporkan bahwa penjualan bahan bakar bersubsidi telah melampaui kuota rata-rata 7 persen, sementara penjualan Pertamax merosot hingga kurang-lebih 11 persen (The Jakarta Post, 2011a; 2011b; Kontan, 2011). Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memperkirakan bahwa kuota 38,5 juta kiloliter Premium pada 2011 akan melebihi hingga 3,5 juta kiloliter (Jakarta Post, 2011c). Kilang minyak Pertamina hanya mampu menghasilkan 10,58 juta kiloliter Premium per tahun, dan, oleh sebab itu, kebutuhan sisanya harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Detik Finance, 2011).

·         Ketidakstabilan harga minyak dan pembiayaan negara
Subsidi yang besar untuk minyak impor membuat posisi fiskal Indonesia amat rapuh terhadap perubahan harga energi dunia. Ketika harga minyak internasional naik secara drastis, sebagaimana terjadi pada 2008, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM – yang dapat mempersulit keadaan politik dalam negeri dan mengakibatkan inflasi mendadak – atau menaikkan anggaran subsidi, yang dapat mengakibatkan lumpuhnya perekonomian. Jika pemerintah memilih untuk mempertahankan subsidi pada saat harga minyak sedang tinggi, pemerintah harus mencari tambahan hutang, atau memoton pengeluaran untuk program lain.
Pasar minyak internasional yang tidak stabil dan ketidakpastian akan kebutuhan pembiayaan pemerintah dapat menaikkan biaya pinjaman pemerintah, yang akhirnya akan menambah jumlah hutang yang harus dibayar di masa mendatang (World Bank, 2011). Memangkas pengeluaran di bidang infrastruktur, kesehatan, atau pendidikan juga akan mengakibatkan dampak negatif jangka panjang terhadap pembangunan dan daya saing ekonomi secara keseluruhan.
Mengelola dampak fiskal dari fluktuasi harga minyak dunia adalah tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini.
Pada awal 2012, harga minyak mencapai lebih dari US$100 per barel, padahal anggaran negara pada tahun yang sama menetapkan asumsi harga minyak mentah sebesar US$90 per barel. Saat ini pemerintah menanggung subsidi yang lebih besar dibandingkan apa yang semula dianggarkan untuk tahun anggaran 2012.

·         Penanaman modal
Bagi para pemasok energi, seperti fasilitas pengilangan minyak atau pembangkit listrik, harga rendah yang ditentukan oleh pemerintah sama artinya dengan pengurangan insentif untuk melakukan penanaman modal baru. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh harga jual energi yang rendah mengurangi keuntungan para pemasok energi tersebut. Kejadian seperti ini seringkali terjadi di Indonesia ketika subsidi justru membawa akibat buruk terhadap kondisi keuangan perusahaan energi milik negara dan kemampuan mereka guna menanamkan modal di bidang infrastruktur (Mourougane, 2010).

·         Korupsi dan penyelundupan
Perbedaan harga antara produk bersubsidi dan non-subsidi dapat menciptakan insentif yang kuat terhadap praktik tidak resmi seperti penyelundupan atau pengalihan bahan bakar kepada pihak yang seharusnya tidak menerima. Produksi bahan bakar fosil adalah bisnis yang sangat menguntungkan yang berada di bawah pengawasan pemerintah dan sangat rentan terhadap penyuapan. Terdapat enam wilayah yang sangat rentan terhadap penyimpangan: rendahnya pembayaran royalti, pemberian lisensi untuk ekstraksi minyak dan gas, penyimpangan dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN), distribusi keuntungan dalam kontrak bagi hasil, dan eksploitasi kelemahan peraturan dalam skema subsidi baru (GSI, 2010).
Dalam kasus elpiji di Indonesia, perbedaan harga antara elpiji 3 kg bersubsidi dengan elpiji 12 kg nonsubsidi mendorong terjadinya pengoplosan isi tangki 3 kg ke dalam tangki 12 kg. Tanpa proses pengisian yang benar, tindakan ini amat beresiko dan telah menyebabkan sejumlah ledakan yang
melukai dan membunuh ratusan orang (Kompas, 2010; Kompas, 2011).
Meningkatnya perbedaan harga eceran menyebabkan peningkatan penyelundupan bahan bakar minyak dan penjualan bahan bakar minyak bersubsidi secara tidak resmi. BPH Migas melaporkan bahwa antara 10 hingga 15 persen bahan bakar minyak bersubsidi yang didistribusikan oleh pemerintah telah dijual secara tidak resmi ke sektor industri, khususnya di berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang dekat dengan wilayah industri dan pertambangan (Fadillah & Samboh, 2011).
Peningkatan penjualan tidak resmi dan penyelundupan bahan bakar ini menyebabkan peningkatan permintaan bahan bakar bersubsidi. Pengendalian kegiatan ilegal yang terjadi melibatkan biaya administratif untuk mencegah, memantau, dan menindak pelanggaran itu. Dan perlu disadari bahwa beban ongkos tambahan atas hal tersebut ditanggung oleh semua pembayar pajak.

Cost and Benefit (Analisis Non Ekonomi)
a.    Employment
        Sebagian besar kontrol migas Indonesia berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
        Penguasaan tampuk produksi strategis oleh orang-seorang ini memungkinkan akumulasi kekayaan oleh segelintir orang, sementara kebanyakan yang lainnya tertinggal dalam kesusahan. Derajat ketimpangan meningkat, di mana indeks gini tahun 1999 yang sebesar 0,31 menjadi sebesar 0,37 pada tahun 2009. Pada tahun yang sama BPS merilis bahwa 40% penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 21,22% total pendapatan, sedangkan 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi menikmati 41,24% total pendapatan.

b.    Polution
   Apa dampak subsidi energi terhadap lingkungan?
Seiring pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, menyebabkan eksploitasi sumber energi fosil yang dilakukan selama ratusan tahun ini telah memberikan lampu kuning. Indonesia yang semula merupakan anggota negara pengekspor minyak bumi, diprediksi akan menjadi negara pengimpor energi pada tahun 2030. Pada saat itu, negeri ini akan mengalami defisit hingga 650 juta barel setara dengan minyak yang harus ditutupi dengan impor.
Jika asumsi selama ini laju pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang dari ketersediaan energi, maka kemungkinan mimpi buruk terpuruknya perekonomian negeri kita akan menjadi kenyataan bila kita tidak melakukan langkah dramatis dalam penyediaan sumber energi alternatif.
Subsidi energi mendorong terjadinya konsumsi berlebihan dan mengurangi insentif untuk efisiensi energi. Kebiasaan mengkonsumsi bahan bakar fosil secara berlebihan tentunya akan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih besar, polusi udara, dan menipisnya sumber daya alam kita. Berdasarkan data dari Badan Energi Internasional (IEA – International Energy Agency), pemangkasan subsidi konsumsi untuk bahan bakar fosil antara 2011 dan 2020 akan mengurangi emisi CO2 global sebanyak 5,8 persen, dibandingkan jika konsumsinya dilanjutkan seperti biasa (IEA, 2010).
Sementara itu, Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD – Organization for Economic Cooperation and Development) memperkirakan bahwa pengurangan emisi dapat mencapai 10 persen pada 2050 jika subsidi yang sama untuk konsumsi bahan bakar fosil dapat dihentikan pada 2020 (IEA et al., 2010). Pencabutan subsidi bahan bakar fosil membuka jalan bagi negara seperti Indonesia untuk berkontribusi lebih besar terhadap pengurangan gas rumah kaca tanpa harus menerapkan pajak karbon atau sistem perdagangan emisi. Yusuf, Komarulzaman, Hermawan, Hartono dan Sjahrir (2010), misalnya, menemukan bahwa penghentian subsidi BBM dan listrik akan mengurangi tingkat pengeluaran emisi CO2 nasional sebanyak 6,71 persen pada 2020 (6,66 persen dari pencabutan subsidi BBM dan 0,92 persen dari pencabutan subsidi listrik).
 Penerapan subsidi juga mengurangi insentif untuk melakukan penanaman modal pada sumber energi dan teknologi yang lebih bersih dengan cara merekayasa harga konsumen produk bahan bakar fosil sehingga lebih murah. Melalui cara yang sama, subsidi bahan bakar minyak menghambat penemuan baru dalam produksi dan penyediaan energi lain yang lebih bersih, seperti elpiji dan energi terbarukan lainnya, walaupun sebenarnya Indonesia memiliki sumber energi seperti ini dalam jumlah besar.

c.    Moral (Ketimpangan sosial dan sikap boros)
Ketimpangan struktur penguasaan faktor produksi akan selalu berimplikasi pada ketimpangan akses konsumsi yang berimplikasi pada ketimpangan sosial.  Subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar maka ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi.
















 Kesimpulan
Pengadaan subsidi bahan bakar di Indonesia awalnya dilakukan guna membuat energi lebih terjangkau bagi masyarakat, khususnya kalangan miskin. Namun demikian, banyak bukti menunjukkan bahwa sebagian besar subsidi tersebut – yang diperkirakan bernilai lebih dari Rp137 triliun (US$15 miliar) untuk BBM dan Rp65 triliun (US$7 miliar) pada 2012 – justru dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu.
Selain itu, penerapan subsidi seperti ini juga dapat mempengaruhi pasokan energi dan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pembiayaan subidi energi tidak saja cenderung mengurangi pembiayaan pemerintah untuk penanaman modal di bidang infrastruktur energi (baik terhadap teknologi yang ada saat ini, maupun teknologi yang tengah dikembangkan), tetapi juga membebani sumber daya pemerintah, dan menurunkan daya saing internasional Indonesia secara keseluruhan .
Pemerintah Indonesia menyadari masalah ini dengan baik, dan telah beberapa kali melakukan sejumlah upaya untuk mencabut subsidi. Pemerintah juga memahami adanya berbagai kebijakan yang dapat digunakan untuk membantu masyarakat melewati masa peralihan, dan telah menerapkan sebagian kebijakan tersebut. Jadi, apa yang salah dan apakah masih ada harapan untuk menjalankan reformasi ini ke depan?
Pemerintah telah meraih sejumlah keberhasilan dalam meningkatkan harga energi melalui penggunaan kebijakan peralihan seperti BLT, pengeluaran untuk sektor sosial, penyebaran informasi, dan peningkatan transparansi. Namun demikian, pengurangan subsidi kemudian terganggu oleh peningkatan harga minyak internasional.
Strategi reformasi yang lebih menyeluruh akan menghasilkan tingkat keberhasilan yang lebih besar. Hal ini biasanya mencakup, antara lain: penelitian untuk mengidentifikasi pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari inisiatif reformasi tersebut, kampanye untuk membangun dukungan publik, kebijakan paket bantuan yang dirancang dan ditargetkan secara cermat, pencabutan subsidi secara bertahap dalam suatu jangka waktu yang ditentukan, dan struktur tata kelola yang baik untuk mengawasi pasar energi yang semakin terbuka.
Bahkan setelah reformasi berjalan sukses sekalipun, subsidi akan terus menjadi kebijakan politik yang populer pada masa tingginya harga minyak, dan, tentunya, kebijakan yang bisa mendapatkan suara rakyat dalam skala besar akan amat menggoda bagi para politisi. Pemerintah Indonesia harus menciptakan suatu rencana guna menolong masyarakat yang rentan tanpa harus menerapkan subsidi.
Rakyat Indonesia akan memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan pasar energi yang lebih terbuka, namun patut disadari bahwa masyarakat juga akan mendapat manfaat dari proses ini melalui penguatan sistem perekonomian, serta lebih banyaknya bantuan yang dapat diberikan kepada rakyat miskin, yang pada akhirnya, akan menghasilkan standar hidup yang lebih tinggi bagi semua pihak.



















Daftar Pustaka
Bank Ferdinand. 2000. Energy Economics, a modern introduction. Netherland: Kluwer Academic Publishers. Barnes, Philiph. 1995. Indonesia: the political economy of energy. Oxford: Oxford Institute for Energy Studies
Collins, Tom. 2003. National oil companies: restructuring, commercialization and privatization. Private Consultant.
Gie, Kwik Kian. 2004. Apakah subsidi BBM sama dengan uang keluar? Bisnis Indonesia, 22 November 2004.
Komite Pengawas Persaingan Usaha. 2003. Kajian industri minyak dan gas bumi. Jakarta: KPPU. Masseron, Jean. 1990. L’economie des hydrocarbures. Paris: Institut Francais du Petrole. Nugroho, Hanan. 2004. Increasing the share of natural gas in national industry and energy consumption: infrastructure development plan? Jakarta: Perencanaan Pembangunan IX/3/2004, h. 20-33.
Nugroho, Hanan. 2004. Pengembangan industri hilir gas bumi Indonesia: tantangan dan gagasan. Jakarta: Perencanaan Pembangunan IX/4/2004, h. 32-52.
Nugroho, Hanan. 2004. Penyediaan BBM Nasional, Masalah Besar Menghadang. Jakarta: Kompas, 6 Juli 2004.
 Nugroho, Hanan. Financing Indonesia’s natural gas infrastructure.. INDOGAS 2005: the 2nd international conference, Jakarta, 17-20 Januari 2005
Nugroho, Hanan, et all. 2004. Gas energy pricing in Indonesia for promoting the sustainable economic growth. Proceeding: The 19th World Energy Congress & Exhibition, Sydney, 5-9 September 2004.
Nugroho, Hanan, et all. Forthcoming. Indonesia: deregulation of power industry after the implementation of new electricity law.
Nugroho, Hanan. 2004. Percepat infrastruktur untuk mendongkrak pemakaian gas bumi. Koran Tempo, 30 November 2004.
Nugroho, Hanan. 2004. Subsidi BBM bukan uang keluar, tapi mesti ditekan. Bisnis Indonesia, 2 Desember 2004.
Peirce, William. 1996. Economics of the energy industries. Connecticut: Praeger Publishers.
Widodo, Hanan Nugroho et. all. 2004. Modelling Indonesia’s energy and infrastructure by INOSYD. Prosiding: Kongres World Energy Council, Komite Nasional Indonesia, Jakarta: November 2004.
Suseno, Franz. 2005. Jangan tunda pencabutan subsidi BBM. Kompas, 14 Januari 2005.
World Bank. 2000. Indonesia oil and gas sector study. Washington: The World Bank.

0 comments:

Post a Comment