Wednesday 6 January 2016

"Kinerja Pemerintah dan Kepuasan mutu Pasien terhadap Jaminan Kesehatan BPJS di Daerah Papua Tahun 2015" oleh ANNISA HIKMAWATI NUR ARIFAH (B200140249)



ABSTRACT
Menurut makalah yang saya buat yang berjudul “Kinerja Pemerintah dan Kepuasan mutu Pasien terhadap Jaminan Kesehatan BPJS di Daerah Papua Tahun 2015” seperti yang kita ketahui BPJS merupakan salah satu Badan Pemerintah yang krusial yang berkembang di bidang kesehatan. Kesehatan merupakan hal penting yang dibutuhkan oleh semua masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pemerintah menaruh perhatian khusus pada badan ini.

BPJS dibentuk memilik tujuan untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat indonesia memilik hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan yang layak tanpa terkecuali. Upaya pemerintah membentuk BPJS ini adalah untuk meringankan beban rakyat dan membuat rumah sakit yag dituju memberikan pelayanan yang terbaik tanpa harus menghawatirkan biaya yang dimiliki pasien.
Tetapi pada praktiknya di daerah Papua seorang guru honorer bernama Hermanus mengalami kaki gajah dan dibawa ke puskesmas yang terdapat layanan BPJS. Tetapi setelah diperiksa, Petugas BPJS terkesan lambat dalam menangani pasien tersebut. Baru setelah berita ini di ekspos oleh media baru BPJS membuka cabang di daerah Sarmi. (Harian Papua,2015)
Sehingga menurut saya kinerja BPJS belumlah maksimal. Masih banyak kinerja dari BPJS yang masih lamban dalam melayani masyarakat. Padahal di dalam Undang-Undang sudah diatur bagaimana kinerja BPJS berjalan. Karena keterlambatan tersebut,nyawa seorang pasien  bisa melayang dan masyarakat menjadi tidak percaya lagi terhadap BPJS.








LATAR BELAKANG
Di Indonesia, dasar negara Pancasila terutama sila ke-5 juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hak ini terdapat dalam UUD 45 pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan.
Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.
Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).
Tetapi hal ini tidak pula didukung dengan kinerja pelayanan yang baik. Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer sektor publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Sistem pengukuran kinerja ini dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi. (Mardiasmo,2002).
Hal ini terbukti dengan adanya kasus seorang guru honorer yang mengalami kaki gajah di daerah Sarmi,Papua. BPJS terkesan lamban dalam menangani pasien tersebut. Baru setelah di ekspos oleh media mengenai berita ini, BPJS membangun kantor cabang di saerah Sarmi,Papua. (Harian Papua,2015).
Untuk itu diperlukan kinerja yang baik dan kantor pelayanan yang memadai di seluruh Indonesia bukan hanya di kota saja sehingga pelayanan BPJS dapat berjalan cepat dan maksimal.
PEMBAHASAN

Istilah mutu memiliki banyak penafsiran yang mungkin berbeda-beda, ketika digunakan untuk menggambarkan sebuah produk atau pelayanan tertentu. Beberapa orang mengartikan layanan kesehatan bermutu adalah layanan yang memuaskan pelanggan. Pasien puas karena mereka merasa langsung “ditangani” padahal infus tidak selalu diperlukan. Ada dilema dalam upaya untuk mewujudkan mutu dalam layanan kesehatan. Pada satu pihak mutu juga diartikan sejauh mana layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap medis. Ketika SOP tersebut dilaksanakan seperti misalnya di beberapa rumah sakit pendidikan milik pemerintah, dianggap oleh pasien terlalu lama dan berbelitbelit. Dari pihak lainnya, menurut kacamata pasien, justru rumah sakit pendidikan milik pemerintah dianggap kurang bermutu dibanding rumah sakit swasta yang bisa lebih cepat karena prosedur yang diterapkan lebih fleksibel. Layanan bermutu dalam pengertian yang luas diartikan sejauh mana realitas layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kriteria dan standar profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat efisiensi yang optimal. Sedangkan mutu dapat dinilai dan diukur dengan berbagai pendekatan. Pendekatan maupun metode pengukuran yang digunakan dalam upaya meningkatkan mutu tersebut telah tersedia baik dari dimensi input, proses dan output. Mutu memiliki karakteristik melakukan pelayanan yang benar dengan cara yang benar, pertama benar dan selanjutnya diharapkan benar.(Ali Gufran,2007)
Untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, diperkenalkan program jaminan mutu (quality assurance) pada tahun 1995 di Provinsi Jawa Barat, Jawa timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat melalui Proyek Kesehatan IV (Health Project IV). Di Jawa Tengah, pelayanan kesehatan tersebut diperkenalkan melalui Proyek Community Health and Nutrition III, sedangkan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pengenalan dilakukan melalui Provincial Health Project I dengan tiga tahapan, yakni analisis sistem, supervisi dan pembinaan, dan pendekatan tim. Empat standar pelayanan telah disusun melalui program jaminan mutu tersebut, yaitu standar penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar penanganan infeksi saluran nafas atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam bentuk lembar periksa yang harus diikuti oleh petugas pelayanan kesehatan di puskesmas
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa. Prinsip utama perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan adalah kepedulian terhadap pelanggan. Pasien sebagai pelanggan eksternal tidak hanya menginginkan kesembuhan dari sakit yang diderita yang merupakan luaran (outcome) pelayan, tetapi juga merasakan dan menilai bagaimana ia diperlakukan dalam proses pelayanan. Berawal dari pelayanan yang peduli pada pelanggan, yakni pelayanan yang memerhatikan kebutuhan (needs), harapan (expectation) pelanggan, dan penilaian manfaat (value) oleh pelanggan sebagai persyaratan yang diajukan oleh pelanggan, upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja perlu merujuk pada trilogi persyaratan pelanggan tersebut. Harapan (expectation) dari pasien tidak hanya diartikan seperti apa yang diinginkan atau diharapkan akan didapatkan oleh pelanggan, tetapi juga apa yang diharapkan terjadi selama menjalani proses pelayanan dan menikmati produk yang dibeli, yang antara lain tidak akan mengalami kesalahan tindakan medis ataupun kejadiankejadian yang tidak diinginkan3 . Hasil pelayanan kesehatan adalah luaran klinis, manfaat yang diperoleh pelanggan, dan pengalaman pasien yang berupa kepuasan atau kekecewaan. Pengalaman pelanggan tersebut sangat tergantung pada proses pelayanan pada lini depan atau sistem mikro pelayanan, suatu sistem pelayanan yang bersentuhan langsung dengan pasien.
Dalam proses pelayanan kesehatan akan terjadi variasi pelaksanaan kegiatan dari waktu ke waktu yang akan menghasilkan luaran yang bervariasi juga. Salah satu upaya untuk mengurangi variasi proses adalah dengan melakukan standardisasi. Proses standardisasi meliputi penyusunan, penerapan, monitoring, pengendalian, serta evaluasi dan revisi standar (PP 102/2000)3-6. Keberadaan standar dalam pelayanan kesehatan akan memberikan manfaat, antara lain mengurangi variasi proses, merupakan persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu. Ditetapkannya standar juga akan menjamin keselamatan pasien dan petugas penyedia pelayanan kesehatan. Dikuranginya variasi dalam pelayanan akan meningkatkan konsistensi pelayanan kesehatan, mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien, meningkatkan efisiensi dalam pelayanan, dan memudahkan petugas dalam pelayanan.
Di dalam mengukur pelayanan publik yang dilakukan memerlukan beberapa tahap, yaitu:
1.      Perencanaan strategi: siklus pengukuran kinerja dimulai dengan proses penskemaan strategi, yang berkenaan dengan penetapan visi, misi, tujuan dan sasaran, kebijakan, program operasional san kegiatan/aktivitas
2.      Penciptaan indikator kinerja: penciptaan indikator kinerja dilakukan setelah perumusan strategi. Indikator yang mudah adalah untuk aktivitas yang dapat dihitung, contohnya adalah jumlah klaim yang diproses.
3.      Mengembangkan sistem pengukuran kinerja: tahap ini terdiri dari tiga langkah, yaitu: pertama, meyakinkan keberadaan data yang diperlukan dalam siklus pengukuran kinerja. Kedua, mengukur kinerja dengan data yang tersedia dan data yang dikumpulkan. Ketiga, penggunaan data pengukuran yang dihimpun, harus dipresentasikan dalam cara-cara yang dapat dimengerti dan bermanfaat.
4.      Penyempurnaan ukuran: pada tahap ini dilakukan pemikiran kembali atas indikator hasil (outcomes) dan indikator dampak (impacts) menjadi lebih penting dibandingkan dengan pemikiran kembali atas indikator masukan (inputs) dan keluaran (outputs).
Pelayanan kesehatan juga sudah diatur pemerintanh dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan). mengatur pembangunan kesehatan dan tata kelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Keterkaitan UU Kesehatan dengan penyelenggaraan program JKN diatur dalam ketentuan antara lain sebagai berikut:
(1) Kewajiban setiap orang untuk turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial (Pasal 13 ayat (1) dan (2)).
(2) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan kesehatan sosial bagi pelayanan kesehatan perorangan (Pasal 20).
(3) Sistem jaminan sosial nasional berfungsi untuk memobilisasi dana masyarakat bagi pembiayaan kesehatan bersumber dana masyarakat (Pasal 173).
(4) Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas kesehatan, dan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau (Pasal 17 dan 19)
(5) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan (Pasal 21).
(6) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat (Pasal 40).
(7) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang melakukanpenapisan,pengaturan,pemanfaatan, sertapengawasan terhadap penggunaan teknologi dan produk teknologi (Pasal 43).
(8) Ketentuan mengenai penyelenggaraan upaya kesehatan dan pelayanan kesehatan (Pasal 46-162).
Tidak hanya kinerja kesehatan saja yang diatur dalam pemerintah, hak warga negara terhadap jaminan kesehatan juga diatur dalam undang-uundang.
2a. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Jaminan sosial dan pelayanan kesehatan adalah hak asasi manusia.
Pasal 41 ayat (1): “Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.” Yang dimaksud dengan “berhak atas jaminan sosial” adalah bahwa setiap warga negara mendapat jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan negara. UU HAM menegaskan bahwa anak berhak atas pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. Pasal 62: “Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.” UU HAM mempertimbangkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa atau Universal Independent of Human Right. Konsideran menimbang UU HAM salah satu diantaranya menguraikan pokok pertimbangan dan alasan pembentukan UU HAM: Paham JKN 24 “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.”
2b. UU No. 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin
UU Penanganan Fakir Miskin menjamin hak fakir miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 3b) dan pelayanan sosial yang terdiri dari jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial (Pasal 3e).
2c. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU Ketenagakerjaan menjamin hak setiap pekerja/buruh dan keluarganya untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99 ayat 1).
2d. UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Republik Indonesia
UU TNI menjamin prajurit TNI untuk memperoleh asuransi kesehatan dan pelayanan kesehatan, sedangkan keluarganya berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Pasal 50 ayat 2 dan ayat 3).
2e. UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
UU No. 5 Tahun 2014 menjamin pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja untuk mendapatkan jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh sistem jaminan sosial nasional (Pasal 92 ayat 1a dan Pasal 106 ayat 1b).
2f. PP No. 42 Tahun 2010 Tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara RI
PP No. 42 Tahun 2010 sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI menjamin Anggota POLRI dan keluarganya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 6).

Berdasarkan kasus yang terjadi dan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien BPJS tidak puas terhadap dimensi keandalan (reliability) yang diberikan. Ketidakpuasan pasien pada dimensi ini disebabkan pasien BPJS merasa petugas kesehatan lambat dalam memberikan pelayanan, dimana pasien BPJS merasa bahwa prosedur administrasi penerimaan pasien dilakukan dengan lambat. Selain itu jadwal pelayanan pengobatan yang diberikan juga sering tidak tepat waktu yang disebabkan dokter datang terlambat ke Puskesmas sedangkan pelayanan yang tepat waktu dinilai sangat penting bagi pasien BPJS karena setiap pasien menginginkan masalah kesehatannya cepat dan segera di atasi sebagaimana yang disampaikan oleh bahwa harapan utama saat pasien datang ke rumah sakit adalah kesembuhan dari penyakit yang diderita. Kesembuhan merupakan salah satu bukti keberhasilan kinerja pelayanan klinis, sehingga bila pasien sembuh bukan saja menunjukkan keberhasilan kinerja pelayanan, tetapi juga membuat pasien puas karena tujuan utamanya tercapai. (Kuntjoro,2005)
Hasil penelitian menunjukkan pasien BPJS tidak puas terhadap dimensi ketanggapan (responsivness) yang diberikan. Ketidakpuasan pasien pada dimensi ini disebabkan pasien BPJS merasa petugas kesehatan tidak tanggap dalam melayani kebutuhan pasien seperti ketanggapan dokter dan perawat dalam melayani keluhan, ketanggapan petugas dalam memberikan informasi kesehatan dan ketanggapan petugas dalam memberikan pelayanan rujukan serta kurangnya tingkat kepekaan petugas kesehatan terhadap kebutuhan pasien. Sebagaimana yang disampaikan oleh bahwa tingkat kepekaan yang tinggi terhadap pelayanan perlu diikuti dengan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan. (Sugiarto,2002)
Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya perbaikan mutu pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan kesehatan, perlu diperhatikan empat tingkat perubahan, yaitu :
1. Pengalaman pasien dan masyarakat
2. Sistem mikro pelayanan
3. Sistem organisasi pelayanan kesehatan
4. Lingkungan pelayan kesehatan
Di samping harus memiliki tujuan yang jelas dan komprehensif, pelayanan kesehatan yang harus berfokus pada pelanggan. Pengalaman pasien dan masyarakat yang menjadi pelanggan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian utama sehingga kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan dapat dipenuhi oleh organisasi pelayanan kesehatan. Mekanisme untuk mengenal adanya perubahan kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan perlu ada dalam pengelolaan organisasi pelayanan kesehatan, demikian juga mekanisme untuk mengelola pengalaman pelanggan. Dengan demikian, organisasi pelayanan kesehatan akan mampu memberikan yang terbaik kepada pasien dan masyarakat. Berikut pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam upaya mewujudkan pelayanan kesehatan yang harus berfokus pada pelanggan seperti Total Quality Management (TQM), Layanan Prima.
Ø  Total Quality Management (TQM)
Sejak empat dekade yang lalu, Joseph Juran (1974) telah menggambarkan komponen-komponen dasar pendekatan manajemen kualitas secara komprehensif. Juran telah mengidentifikasikan elemen-elemen yang diperlukan dalam sebuah sistem untuk mengukur, meningkatkan, dan merancang proses yang secara konsisten dapat memberikan hasil yang optimal. Dia menamakan sistem tersebut sebagai manajemen kualitas secara menyeluruh atau Total Quality management1,3,4. Menurut Ali Gufran, 2007, Dalam Total Quality management,seluruh aspek dalam organisasi memerlukan perubahan secara luas dan mendasar pada budaya organisasi dan sifat dan kharakter manajemen. Kegiatankegiatan peningkatan kualitas ini merupakan bagian dari rencana bisnis organisasi. Seluruh tingkat manajemen mulai dari top manajemen sampai front-liner mereka yang paling terdepan dalam memberikan layanan pada pasien menghargai pentingnya mutu dan data statistik. Selain itu, Total Quality management juga dimaknai sebagai proses memobilisasi sumber daya manusia untuk meraih tujuan mutu. Secara internal, proses tersebut termotivasi oleh perhatian yang besar terhadap praktik-praktik pencegahan timbulnya masalah mutu layanan1-5. Merujuk kepada arti kata dari Total Quality management itu, total berarti bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan di seluruh tingkatan dan seluruh bagian atau departemen dalam organisasi serta pada seluruh waktu (setiap hari). Sementara itu, istilah quality menggambarkan peningkatan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Di satu sisi, management merupakan keseluruhan sistem dan lingkungan yang mendukung budaya peningkatan mutu secara berkelanjutan.





Ø  Pelayanan prima
Dari kutipan yang diambil dari buku Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Konsep dan Implementasi; Pelayanan prima dimaknai sebagai pelayanan terbaik dan telah memenuhi standar pelayanan dipandang dari perspektif pengguna atau donor, perspektif proses pelayanan dan perspektif keuangan yang dapat dicapai jika kualitas sumber daya manusianya cukup profesional. Sementara itu, LAN RI mengartikan pelayanan prima sebagai pelayanan yang terbaik dan melebihi, melampaui, serta mengungguli pelayanan yang diberikan pihak lain atau pelayanan sebelumnya. Istilah pelayanan prima sendiri merupakan terjemahan dari excellent service, yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana maksud pelayanan yang sangat baik atau yang terbaik dalam konteks pelayanan kesehatan atau rumah sakit. Departemen kesehatan telah memberikan pengertian pelayanan prima. Pelayanan prima adalah pelayanan kepada pasien berdasarkan standar mutu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaannya kepada rumah sakit.
Dalam usaha untuk mencapai usaha Indonesia sehat 2010, Departemen Kesehatan menjelaskan bahwa pelayanan prima seharusnya meliputi aspek-aspek berikut:
·         Kemudahan akses informasi (aspek kepuasan pengguna)
·         Pelaksanaan peraturan secara tepat, konsisten, dan konsekuen (aspek proses pelayanan)
·         Pelaksanaan hak dan kewajiban pemberi dan penerima pelayanan (aspek SDM dan kepuasan pelanggan)
·         Penanganan dan pendokumentasian kegiatan pelayanan dilakukan oleh tenaga yang berwenang/ kompeten (aspek proses dan SDM)
·         Penciptaan pola pelayanan yang sesuai dengan sifat dan jenisnya sebagai efisiensi dan efektivitas (aspek SDM, dan proses pelayanan)
·         Penetapan tarif sesuai dengan kemampuan masyarakat dengan mekanisme pungutan yang transparan serta adanya pengendalian dan pengawasan yang cermat (aspek finansial dan kepuasan pelanggan)
·         Tidak ada pembedaan dalam memberikan pelayanan serta pemerataan distribusi cakupan (aspek kepuasan pelanggan)
·         Kebersihan fasilitas pelayanan dan lingkungan (aspek proses pelayanan)
·         Sikap ramah dan sopan petugas serta meningkatkan kinerja secara kualitatif dan kuantitatif dengan kapasitas optimal (aspek kepuasan pelanggan dan aspek SDM).




KESIMPULAN
Prinsip utama perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan adalah kepedulian terhadap pelanggan. Pasien sebagai pelanggan eksternal tidak hanya menginginkan kesembuhan dari sakit yang diderita yang merupakan luaran (outcome) pelayan, tetapi juga merasakan dan menilai bagaimana ia diperlakukan dalam proses pelayanan. Berawal dari pelayanan yang peduli pada pelanggan, yakni pelayanan yang memerhatikan kebutuhan (needs), harapan (expectation) pelanggan, dan penilaian manfaat (value) oleh pelanggan sebagai persyaratan yang diajukan oleh pelanggan, upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja perlu merujuk pada trilogi persyaratan pelanggan tersebut.
Keberadaan standar dalam pelayanan kesehatan akan memberikan manfaat, antara lain mengurangi variasi proses, merupakan persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu. Ditetapkannya standar juga akan menjamin keselamatan pasien dan petugas penyedia pelayanan kesehatan. Dikuranginya variasi dalam pelayanan akan meningkatkan konsistensi pelayanan kesehatan, mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien, meningkatkan efisiensi dalam pelayanan, dan memudahkan petugas dalam pelayanan.
Tetapi dalam mengukur standar kinerja memerlukan beberapa tahap yang perlu diperhatikan, yaitu:
1)      Perencanaan strategi
2)      Penciptaan indikator kinerja
3)      Mengembangkan sistem pengukuran kinerja
4)      Penyempurnaan ukuran
Di samping harus memiliki tujuan yang jelas dan komprehensif, pelayanan kesehatan yang harus berfokus pada pelanggan. Pengalaman pasien dan masyarakat yang menjadi pelanggan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian utama sehingga kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan dapat dipenuhi oleh organisasi pelayanan kesehatan. Mekanisme untuk mengenal adanya perubahan kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan perlu ada dalam pengelolaan organisasi pelayanan kesehatan, demikian juga mekanisme untuk mengelola pengalaman pelanggan. Dengan demikian, organisasi pelayanan kesehatan akan mampu memberikan yang terbaik kepada pasien dan masyarakat Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam upaya mewujudkan pelayanan kesehatan yang harus berfokus pada pelanggan seperti Total Quality Management (TQM), Layanan Prima.
Tetapi dalam praktiknya masih banyak kinerja pelayanan kesehatan yang masih belum maksimal. Dilansir dari Harian Papua, seorang guru honorer mengalami pelayanan yang kurang memuaskan dan terkesan lamban dari BPJS setempat. Beliau ketika dirujuk ke puskesmas mengalami kaki gajah yang kondisinya sudah parah tetapi petugas seakan lamban menangani permasalahan ini. Padahal beliau menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Kabupaten Sarmi Papua tempat tngalnya menuju kota. Baru setelah berita ini di ekspos oleh media, BPJS setempat baru membangun pelayanan di kota Sarmi Papua.

v  SARAN
Merajuk dari kasus yang terjadi dan berdasarkan pembahasan yang sudah saya paparkan menurut saya hal-hal yang perlu diperhatikan dan diperbaiki, yaitu :
1.      Pihak BPJS daerah Papua perlu meningkatkan kinerja petugas kesehatan dari segi keandalan dan ketanggapan petugas kesehatan dengan cara melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan yang diberikan serta memberikan reward kepada petugas kesehatan yang berprestasi.
2.      Pihak BPJS meningkatkan kinerja terhadap pelayanan pasien JAMKESMAS seperti dari segi empati, jaminan dan tangibles dengan cara melakukan evaluasi rutin terhadap pelaksanaan pelayanan yang telah diberikan
3.      Pihak BPJS daerah Papua segera mengadakan perbaikan sesuai dengan faktor-faktor yang menjadi prioritas utama seperti prosedur administrasi penerimaan pasien, jadwal pelayanan yang tepat waktu, pelaksanaan pengobatan dan pemeriksaan, ketanggapan perawat, penyampian informasi kesehatan, perhatian dokter terhadap keluhan pasien dan kesungguhan tata usaha dalam membantu pengurusan rujukan.













DAFTAR PUSTAKA

1.      Ali Ghufron Mukti, Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Konsep dan Implementasi, Pusat Pengembangan Sistem Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/ Jaminan Kesehatan Fakultas Kedkteran Universitas Gajah Mada, 2007. (jurnal nasional)
2.      Rizanda Machmud,MANAJEMEN MUTU PELAYANAN KESEHATAN,unand,2008 (jurnal nasional)
3.      Nur Alam Fajar , Erma Kartikasari, Asmaripa Ainy, KEPUASAN PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DI POLI UMUM PUSKESMAS PETALING KABUPATEN BANGKA,2009 (jurnal nasional)
4.      Maman Saputra, Lenie Marlinae, Fauzie Rahman, Dian Rosadi, PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DARI ASPEK SUMBER DAYA MANUSIA PELAKSANA PELAYANAN KESEHATAN,2015 (jurnal nasional)
5.      Hubaib Alif Khariza, Program Jaminan Kesehatan Nasional: Studi Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya,2015 (jurnal nasional)
6.      Mardiasmo. 2009.Akuntansi Sektor Publik . Yogyakarta: Penerbit Andi. 
7.      Tjahyono Koentjoro, Regulasi Kesehatan di Indonesia, Andi Yogyakarta, 2007
8.      Nordiawan, Deddi. 2011.Akuntansi Sektor Publik.Jakarta: Salemba Empat.
9.      Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press, 2000.
10.  Mahmudi.Manajemen Kinerja Sektor Publik . Yogyakarta: UPP AMPYKPN. 2005
11.  Bastian, Indra. 2006.Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar . Jakarta:Erlangga.
12.  Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management (TQM), edisi Revisi, Andi Yogyakarta, 2003
13.  UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
14.  UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Jaminan sosial dan pelayanan kesehatan adalah hak asasi manusia.
15.  Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Penetapan Jaminan Sosial

0 comments:

Post a Comment