ABSTRAK
Fraud
atau penipuan adalah sebagai suatu tindakan penipuan yang dilakukan untuk
memperkaya diri sendiri dengan melakukan perampasan hak atau kepemilikan orang lain. Pada
prinsipnya Fraud memiliki tiga unsur, yakni: adanya perbuatan
yang melawan hukum, dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau dari luar
organisasi serta dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan
kelompok sementara di lain pihak merugikan pihak lain baik langsung maupun
tidak langsung. Fraud dapat dilakukan
oleh siapa saja, bahkan oleh seorang pegawai yang tampaknya jujur sekalipun. Maraknya
kasus fraud yang terjadi di Indonesia ini
menurut jumlah dan frekuensi dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal tersebut
dikarenakan kebanyakan fraud sulit ditemukan dan diungkap secara tuntas. Perbuatan
fraud dapat merugikan keuangan
negara, keuangan perusahaan, dan merusak sendi-sendi sosial budaya masyarakat. Oleh
sebab itu peranan audit internal sangat penting untuk membantu dalam melakukan
audit bagi kepentingan manajemen, memecahkan beberapa hambatan dalam sebuah
organisasi dan mendukung upaya manajemen untuk membangun budaya yang mencakup
etika, kejujuran, dan integritas.
LATAR BELAKANG MASALAH
Kejahatan
fraud telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan dinegara ini. Hal ini dapat
kita lihat dari berbagai kasus fraud yang terjadi dinegara kita, misalnya kasus
yang menimpa salah satu BUMN, yaitu tentang laporan keuangan yang overstated,
terungkapnya dugaan mark-up laporan keuangan PT.Kimia Farma Tbk, yaitu terjadinya
penggelembungan laba bersih pada laporan keuangan PT.Kimia Farma Tbk tahun 2001
(senilai Rp 32,668 miliar, karena laporan keuangan yang seharusnya sebesar Rp
99,594 miliar ditulis Rp 132 miliar). Kasus ini menyeret sebuah KAP yang menjadi
auditor PT.Kimia Farma Tbk. (Gusnardi, 2011). Masih banyak kasus fraud yang
terjadi pada BUMN dan Instansi pemerintahan di Indonesia. Seperti yang
ditampilkan pada table berikut ini:
Maraknya
kasus seperti ini merupakan suatu hal yang memalukan, pemerintah telah berupaya
untuk mencegah bahkan memberantasnya dengan membuat aturan-aturan dan lembaga
yang berwenang untuk penanggulangan kasus tersebut misalnya dari lembaga
pemerintahan seperti BPK, BPKP, Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM
seperti MTI dan ICW. Upaya dan cara yang dilakukan termasuk strategi dari
pemerintah untuk menciptakan kontrol anti kecurangan, sehingga dapat mengurangi
resiko atas kecurangan, namun nyatanya tidak ada entitas manapun yang kebal
dengan ancaman ini.
Dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang diatur dalam PP No.60 tahun 2008. Pemerintah
mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk membangun pengendalian. Pengendalian
internal dapat membantu pemerintah untuk meminimalisasi terjadinya kelemahan,
kesalahan dan resiko kecurangan. Sistem Pengendalian internal organisasi yang
lemah dapat mengidentifikasikan tidak efisiennya operasi pemerintahan dan seterusnya
akan menjadi peluang terjadinya fraud. Fungsi
auditor internal adalah melaksanakan fungsi pemeriksaan internal yang merupakan
suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan
mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilakukan. Auditor internal diharapkan
dapat memberikan sumbangan bagi perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam
rangka peningkatan kinerja organisasi. Dari pemaparan diatas,maka perlu kita
ketahui bagaimana peran audit internal dalam upaya penanganan fraud disektor
publik.
PEMBAHASAN
Statement on Auditing Standards (SAS) no 99
mendefinisikan “Fraud is a broad legal concept and auditors do not make legal
determinations of whether fraud has occurred.”
Sunaryadi dari Pricewaterhouse Coopers memberikan
definisi bahwa fraud adalah melakukan suatu perbuatan dengan menyembunyikan,
menutupi atau cara tidak jujur lainnya, melibatkan atau meniadakan suatu
perbuatan atau membuat pernyataan yang
salah dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan keuangan
atau keuntungan lainnya atau
meniadakan suatu kewajiban.
Definisi
fraud berdasarkan Webster’s New World
Doactionary dalam Sudarmo et al, (2008)
yaitu: fraud adalah terminologi umum,
yang mencakup beragam makna tentang kecerdikan, akal bulus tipu daya manusia
yang digunakan oleh seseorang, untuk mendapatkan suatu keuntungan (di) atas
orang lain melalui cara penyajian yang
salah. Tidak (ada) aturan baku dan pasti yang dapat digunakan sebagai kata yang
lebih tepat untuk memberikan makna lain tentang
fraud, kecuali cara melakukan tipu daya, secara tak wajar, dan cerdik
sehingga orang lain menjadi terpedaya. Satu-satunya yang dapat menjadi batasan
tentang fraud adalah biasanya dilakukan mereka yang tidak
jujur atau penuh tipu muslihat.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat
pasal-pasal yang mencakup pengertian fraud diantaranya:
Pasal
362 Pencurian: Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
Pasal
378 mendefinisikan fraud sebagai perbuatan curang yang dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martaba palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang.
Institute of Internal Auditors (IIA) standarnya,
menjelaskan tentang fraud dengan pernyataan : “Fraud encompasses an array of
irregularities and illegal acts characterized by intentional deception. It
can be perpetrated for the benefit of or to the detriment of the
organization and by persons outside as well as inside organization.”
Pengertian fraud sesuai Standar Profesional Akuntan
Publik (PSAK No.70 seksi 316.2 paragraf
(4) adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan
dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai
laporan keuangan.
Kamus Akuntansi mendefinisikan fraud sebagai suatu tindakan
penipuan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan
perampasan hak orang lain. Fraud dilakukan
oleh perorangan dan organisasi untuk memperoleh uang,properti, ataupun jasa
dengan cara menghindari pembayaran, kerugian, kenyamanan pribadi, ataupun keuntungan bisnis (Tjahjono, Josua, Budi,
Jap, dan Yohana; 2013).
Uniform Occupational Fraud Classification System,
The ACFE membagi Fraud (Kecurangan) dalam 3 (tiga) jenis atau
tipologi berdasarkan perbuatan yaitu:
a.
Penyimpangan atas asset
(Asset Misappropriation);
Asset
misappropriation meliputi penyalahgunaan / pencurian aset atau harta atau pihak
lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible
atau dapat diukur / dihitung
(defined value).
b.
Pernyataan palsu atau
salah pernyataan (Fraudulent Statement);
Fraudulent
statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi
pemerintah untuk menutupi kondisi
keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan
atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
c.
Korupsi (Corruption).
Jenis fraud
ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan
korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang
terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya
lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor
integritasnya masih dipertanyakan.
Fraud jenis ini sering kali tidak
dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan
(simbiosis mutualisma). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang atau
konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan
yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi
(econom extortion). Sedangkan Delf (2004) menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu
cybercrime. Ini jenis fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak
yang mempunyai keahlian khusus yang tidak selalu dimiliki oleh pihak lain. Cybercrime
juga akan menjadi jenis fraud yang paling ditakuti di masa depan di mana
teknologi berkembang dengan pesat dan canggih.
Pengklasifikasian
fraud menurut Simanjuntak (2008) dalam Putra (2010) dapat dibagi
beberapa jenis, yaitu:
a. Berdasarkan pencatatan,
kecurangan berupa pencurian
aset dapat dikelompokkan
kedalam tiga kategori:
o Pencurian aset
yang tampak secara
terbuka pada buku,
seperti duplikasi pembayaran yang
tercantum pada catatan
akuntansi (fraud open
on-the-books, lebih mudah untuk
ditemukan).
o Pencurian
aset yang tampak pada buku, namun tersembunyi diantara catatan akuntansi yang
valid, seperti: kickback (fraud hidden on the-books)
o Pencurian
aset yang tidak tampak pada buku, dan tidak akan dapat dideteksi melalui pengujian
transaksi akuntansi yang
dibukukan, seperti: pencurian uang pembayaran piutang dagang yang
telah dihapusbukukan atau di-write-off
(fraud off-the books, paling
sulit untuk ditemukan)
b. Berdasarkan frekuensi,
pengklasifikasian kecurangan dapat
dilakukan berdasarkan frekuensi terjadinya:
o Tidak berulang
(non-repeating fraud). Dalam
kecurangan yang tidak berulang, tindakan
kecurangan - walaupun
terjadi beberapa kali - pada dasarnya bersifat tunggal. Dalam arti,
hal ini terjadi disebabkan oleh adanya pelaku setiap saat (misal: pembayaran
cek mingguan karyawan memerlukan kartu kerja mingguan untuk melakukan
pembayaran cek yang tidak benar).
o Berulang (repeating
fraud). Dalam kecurangan
berulang, tindakan yang menyimpang terjadi beberapa kali dan hanya diinisiasi
atau diawali sekali saja. Selanjutnya
kecurangan terjadi terus-menerus
sampai dihentikan. (Misal: cek
pembayaran gaji bulanan yang dihasilkan secara otomatis tanpa harus melakukan
penginputan setiap saat. Penerbitan cek terus berlangsung sampai diberikan
perintah untuk menghentikannya.) Bagi
auditor, signifikansi dari berulang atau tidaknya suatu kecurangan
tergantung kepada dimana ia akan mencari
bukti. Misalnya, auditor harus mereview program aplikasi komputer untuk
memperoleh bukti terjadinya tindakan kecurangan pembulatan ke
bawah saldo tabungan
nasabah dan pengalihan
selisih pembulatan tersebut ke suatu
rekening tertentu.
c. Berdasarkan konspirasi,
kecurangan dapat diklasifikasikan sebagai:
terjadi konspirasi atau kolusi, tidak terdapat konspirasi, dan terdapat
konspirasi parsial. Pada umumnya kecurangan
terjadi karena adanya
konspirasi, baik bona
fide maupun pseudo. Dalam bona
fide conspiracy, semua pihak sadar akan adanya kecurangan; sedangkan dalam
pseudo conspiracy, ada pihak-pihak yang
tidak mengetahui terjadinya
kecurangan.
d. Berdasarkan keunikan,
kecurangan berdasarkan keunikannya
dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
o Kecurangan
khusus (specialized fraud), yang terjadi secara unik pada orang-orang yang
bekerja pada operasi bisnis tertentu.
Contoh: (1) pengambilan aset yang
disimpan deposan pada lembaga-lembaga
keuangan, seperti: bank, dana pensiun,
reksa dana (disebut juga custodial fraud) dan
(2) klaim asuransi yang tidak benar.
o Kecurangan
umum (garden varieties of fraud) yang semua orang mungkin hadapi dalam operasi
bisnis secara umum. Misalnya: kickback, penetapan harga yang tidak benar, pesanan pembelian atau kontrak
yang lebih tinggi dari kebutuhan yang sebenarnya,
pembuatan kontrak ulang atas pekerjaan yang telah selesai, pembayaran ganda, dan pengiriman
barang yang tidak benar.
Berdasarkan
pelaku kecurangan, setidaknya
fraud bisa dikelompokkan
menjadi tiga golongan:
1.
Corporate fraud,
kecurangan yang dilakukan oleh sebuah organisasi atau badan hukum untuk
kepentingan badan hukum itu sendiri.
2.
Management fraud,
kecurangan yang hanya
bisa dilakukan oleh
atasan yang memiliki wewenang
cukup, biasanya mempunyai ciri antara
lain: tindakannya terlihat logis atau masuk
akal atau rasional, memberikan keuntungan
kepada dirinya, memberikan
kesan bukan tindakan
kriminal, dan yang
bersangkutan tidak merasa bersalah karena ia merasa apa yang diambilnya
adalah miliknya. Beberapa contoh dari
management fraud :
perusahaan didalam perusahaan, keputusan yang
menguntungkan pihak lain
tapi merugikan perusahaan, manipulasi pembayaran kepada
supplier atau contractor, penerimaan
komisi atau kick back ke rekening orang
lain yang masih dalam pengendaliannya. Karena itu terbongkarnya management fraud
seringkali secara kebetulan
atau telah lama terjadi
sehingga menimbulkan gosip
atau memberikan tanda-tanda
yang memerlukan investigasi yang lebih detail dan professional. Pelaku
management fraud umumnya : orang yang
cukup cerdas tetapi tidak
jujur. Bisa juga orang yang
memiliki kekuasaan atau wewenang
yang luas sehingga dapat mengatur atau menciptakan prosedur
yang dianggap logis
dan sulit untuk
dideteksi dengan dibantu oleh asisten
atau bawahannya yang loyal.
Management fraud akan terjadi apabila aspek:
Condition (situasinya memungkinkan,
adanya peluang atau kesempatan untuk melakukannya),
Motivation pada diri pelaku (adanya situasi yang sangat menekan sehingga mendorong
pelaku melakukannya), dan Attitude pelakunya
(karakteristik pribadi yang
memang dasarnya penipu)
tergabung menjadi satu. Apabila salah satu aspek atau dua aspek tersebut
diatas tidak ada maka management fraud
agak sulit terjadi.
3.
Employee fraud,
kecurangan yang umumnya
dilakukan oleh karyawan
yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena melihat adanya
peluang kelemahan pada pengendalian
internal perusahaan serta
pembenaran terhadap tindakan tersebut.
Kecurangan ini meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan
laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang
berlaku umum. Contoh
dari employee fraud
ini adalah penggelapan terhadap penerimaan kas, pencurian aktiva
perusahaan, mark up harga,
transaksi tidak resmi.
Alasan
orang untuk melakukan sebuah kecurangan dipicu oleh beberapa alasan yang berbeda.
Dalam buku “Fraud Examination” karangan Albrect
mengemukakan bahwa ada tiga alasan utama mengapa orang-orang melakukan fraud, yaitu:
· tekanan
· kesempatan
· suatu
cara
untuk merasionalisasi bahwa tindakan
fraud diperbolehkan.
Ketiga
elemen itulah yang kita sebut dengan
fraud triangle ( Albrecht, 2009 ). Fraud triangle biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan
menilai risiko fraud.
Simanjuntak (2008) dalam Putra (2010) menyatakan
terdapat empat faktor pendorong seseorang untuk melakukan fraud
yang disebut juga dengan teori GONE, yaitu: (1) Greed (keserakahan), (2) Opportunity (kesempatan), (3)
Need (kebutuhan), dan (4) Exposure (pengungkapan).
Faktor greed dan
need merupakan faktor yang berhubungan dengan individu pelaku fraud
(faktor individual), sedangkan faktor
opportunity dan exposure
merupakan faktor yang berhubungan dengan organisasi sebagai korban perbuatan
fraud (faktor umum).
Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya
kecurangan, menurut Valery G. Kumaat (2011:137) setidaknya ada 3 faktor
derifatif dari faktor manusia yang saling terkait erat:
·
Faktor asli, yaitu dimana manusia pelakunya, atau
lebih tepatnya factor karakter pribadi yang berpotensi mendorong seseorang
bertindak curang,
·
Faktor organisasi,
yaitu faktor yang berasal dari kumpulan/komunitas manusia di dalamnya, yang
secara lebih spesifik kita sebut saja sebagai faktor lingkungan bisnis,
·
Faktor sistem, yaitu
berbagai perangkat sistem dan kebijakan (termasuk iptek) yang di buat oleh
individu maupun antar manusia dalam organisasi demi kepentingan proses bisnis.
Pada prinsipnya
Fraud memiliki tiga unsur, yaitu:
adanya perbuatan yang melawan hukum (illegal acts); dilakukan oleh orang-orang
dari dalam dan/atau dari luar organisasi serta dilakukan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dan/atau kelompok sementara di lain pihak merugikan pihak
lain baik langsung maupun tidak langsung.
Namun secara umum, unsur-unsur dari kecurangan
(keseluruhan unsur harus ada, jika ada yang tidak ada maka dianggap kecurangan
tidak terjadi) adalah:
·
Harus terdapat salah
pernyataan (misrepresentation);
·
Dari suatu masa lampau
(past) atau sekarang (present);
·
Fakta bersifat material
(material fact);
·
Dilakukan secara
sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or recklessly);
·
Dengan maksud (intent)
untuk menyebabkan suatu pihak beraksi;
·
Pihak yang dirugikan
harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut (misrepresentation); yang
merugikannya (detriment).
Perbuatan fraud dapat merugikan keuangan negara,
keuangan perusahaan, dan merusak sendi-sendi sosial budaya masyarakat. Sudarmo
et al, (2008) mengemukakan bahwa fraud hampir terdapat pada setiap lini pada
suatu organisasi, mulai dari jajaran manajemen atau pimpinan puncak sampai
kepada jajaran terdepan atau pelaksana bahkan bisa sampai ke pesuruh (office
boy).
Menurut PP No.60 Tahun 208 yang dimaksud dengan
“audit” adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan
secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan
informasi pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Sedangkan menurut Permenpan.No:PER/05/M.PAN/03/2008 Audit
adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan
secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektifitas, efisiensi, dan keandalan
informasi pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah.
Menurut Mardiasmo(2002), Audit Internal adalah audit
yang dilakukan oleh unit pemeriksaan yang merupakan bagian organisasi yang
diawasin. Audit internal menurut The Institute of Internal Auditor (IIA) adalah
aktivitas independen, keyakinan objektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberikan
nilai tambah dan meningkatkan operasi organisasi.
Audit eksternal maupun auditor intern mempunyai tanggung
jawab untuk mendeteksi fraud. Tanggung jawab auditor untuk mendeteksi fraud merupakan tanggung jawab profesi dan
tanggung jawab terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Tugas utama dari audit adalah mengumpulkan dan mengevaluasi
bukti audit yang merupakan segala informasi yang digunakan oleh auditor dalam rangka
menentukan informasi yang diaudit sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (Arens
dan Loebbecke, 2007). Bukti audit adalah sesuatu yang dapat membuktikan (Sawyer, 2003),
yang diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan
konfirmasi sebagai dasar memadai
untuk menyatakan pendapat atas laporan keungan yang diaudit (Standar
Profesional Akuntan Publik, 2006)
Seorang auditor yang berpengalaman ia akan lebih
paham terkait penyebab kekeliruan yang terjadi, apakah murni karena kesalahan
ataukah kekeliruan karena kesengajaan yang berarti fraud.
PSA 32 (SA 316.05) menetapkan bahwa tanggungjawab
auditor dalam kaitannya dengan kekeliruan (error) dan ketidakberesan (irregularities)
adalah sebagai berikut:
· Menentukan
risiko bahwa suatu kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan
laporan keuangan berisi salah saji material.
· Berdasarkan
penentuan ini, auditor harus merancang auditnya untuk memberikan keyakinan
memadai bagi pendeteksian kekeliruan dan ketidak beresan.
· Melaksanakan
audit dengan seksama dan tingkat skeptisme professional yang semestinya dan
menilai temuannya.
Menurut Mulyadi (2002:211) fungsi audit intern
merupakan kegiatan penilaian yang bebas yang terdapat dalam organisasi, yang
dilakukan dengan cara memeriksa akuntansi, keuangan, dan kegiatan lain, untuk
memberikan jasa bagi manajemen dalam melaksanakan tanggung jawab mereka.
Menurut SA Seksi 110, bahwa auditor bertanggung
jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan memadai
tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang
disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Tanggungjawab tersebut tentunya
dalam rangka untuk menilai kewajaran laporan keuangan dari salah saji secara material
yang sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum, standar auditing dan
kode etik akuntan. Apabila terjadi pelanggaran atau penyimpangan terhadap etika
profesi seperti yang diisyaratkan dalam standar auditing dan kode etik akuntan
berarti auditor kurang menunjukkan atau tidak memiliki idealisme
yaitu sebagai sikap yang dependen dan tidak menghindarkan terjadi berbagai
kepentingan.
Pengawasan
intern atas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan untuk mendorong terwujudnya good governance dan clean government dan mendukung
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel serta
bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penerapan
sistem pengendalian internal berfungsi untuk;
a. Preventive,
pengendalian untuk mencegah kesalahan-kesalahan baik berupa kekeliruan atau
ketidakberesan.
b. Detective,
mendeteksi kesalahan, kekeliruan dan penyimpangan yang terjadi.
c. Corrective,
memperbaiki kesalahan, kelemahan dan penyimpangan yang terdeteksi.
d. Directite,
mengarahkan agar pelaksanaan aktivitas dilakukan dengan tepat dan benar.
e. Compensative,
menetralkan kelemahan pada aspek control lain.
Peran
internal
audit menjadi sangat bervariasi, dan
tergantung kepada, kebutuhan organisasi,
struktur internal audit dan kompetensi yang tersedia. Peran internal audit
antara lain mencakup:
· Mendukung
pimpinan untuk membangun proses dan program anti-fraud yang dapat dipantau dan
dimonitor secara teratur dan berkala.
· Memfasilitasi
penilaian risiko fraud pada instansi, unit pelaksana, dan tingkatan
operasional.
· Menghubungkan
dan mendokumentasikan aktivitas pengendalian anti-fraud untuk mengidentifikasi
risiko fraud.
· Mengevaluasi
dan menguji desain dan efektivitas operasi program pengendalian dan anti-fraud.
· Melaksanakan
fraud auditing/audit investigative
· Melaksanakan
penugasan investigasi untuk membuktikan dugaan fraud atau penyalahgunaan
lainnya.
· Melaporkan
kepada pimpinan instansi mengenai efektivitas instansi dalam mencegah,
mendeteksi, menginvestigasi dan memperbaiki dampak fraud yang terjadi.
Selain itu Peran audit internal adalah sebagai
pengawas terhadap tindak kecurangan. Audit internal bertanggung jawab untuk
membantu manajemen mencegah fraud dengan
melakukan pengujian dan evaluasi keandalan dan efektivitas dari pengendalian seiring
dengan potensi resiko terjadinya kecurangan dalam berbagai segmen.
Kemampuan mendeteksi
fraud adalah sebuah kecakapan atau keahlian yang dimiliki auditor untuk
menemukan indikasi mengenai fraud. Menurut
Kumaat (2011: 156) mendeteksi kecurangan adalah upaya untuk mendapatkan
indikasi awal yang cukup mengenai tindak kecurangan, sekaligus mempersempit
ruang gerak para pelaku kecurangan.
Pendekatan
dan Langkah dalam Fraud Audit
Pendekatan dalam rangka investigasi fraud mencakup
hal berikut : Analisis data dan bukti, Menyusun hipotesis, Menguji hipotesis
dengan bukti lanjutan, Menyaring dan memperbaiki hipotesis.
Beberapa langkah yang perlu ditempuh untuk
menguji fraud, antara lain sebagai berikut: Penguji dokumen, Saksi netral dari
pihak ketiga, Siapa saja yang berkomplot, Tujuan pengungkap fraud.
Cara
Mendeteksi Fraud
Langkah penting yang perlu dilakukan auditor
untuk mengetahui ada tidaknya fraud dengan jalan mendeteksi dapat digunakan
beberapa teknik antara lain sebagai berikut.
a. Teknik
mendeteksi melalui audit catatan akuntansi yang mengarah pada gejala atau kemungkinan
terjadinya fraud (Critical Point Auditing). Critical Point Auditing dengan hal
berikut.
· Analisis
trend, yaitu pola kecenderungan (konjungtur) yang terjadi dari satu periode ke
periode berikutnya.
· Pengujian
khusus, yaitu pengujiaan terhadap kegiatan yang memiliki risiko tinggi terhadap
kecurangan.
b. Teknik
mendeteksi dengan analisis kepekaan pekerjaan dengan memandang pelaku potensial
(Job Sensitivity Analysis). Job Sensitivity Analysis dengan hal berikut.
· Identifikasi
semua posisi pekerjaan yang rawan tehadap kecurangan (metode pendekatan).
· Identifikasi
tingkat pengendalian yang dilakukan manajer.
Kecurangan akan mudah dilakukan kalau manajer lengah atau sibuk dengan
tanggung jawab lain. Dan mengabaikan tanggung jawabnya dalam melakukan
pengendalian.
· Indentifikasi
gejala (symptom) yang terjadi seperti adanya kekayaan pribadi yang tidak dapat
dijelaskan, pola hidup mewah, rasa tidak puas, egois, pengabaian instuksi, dan
ingin dianggap penting (karakter
pribadi).
· Pengujian
rinci apakah pengujian dan tindak lanjut perbaikan telah dilakukan pada kesempatan
pertama atas jenis pekerjaan yang berisiko tinggi.
Menurut Bonita Peterson dan Paul Zikmund (2004), ada
sepuluh pemahaman atau pembenaran yang
dapat membantu untuk mengurangi risiko terjadinya fraud:
“1).Fraud is everywhere. 2) Anyone can commit fraud 3) Understand the circumstances
influencing why people commit fraud
(motive, perceived opportunity to commit and think they can get away with it, morally acceptable excuse)
4) The best deterrent is to increaese the perception of detection 5).Perpetrators
are often employees. 6) There are only a limited number of fraud schemes (asset misappropriations alone
count for 60-86% of all frauds) 7) Understand
early signs and act upon them 8) Don't rely on auditors to detect fraud (they
focus on material fraud only), 9) Have an (anonymous) fraud hotline and use a fraud
questionaire now and then, 10) Prevention is the best cure.”
Menurut
Albrecht (2005:) ada beberapa langkah yang
harus dilakukan oleh manajemen perusahaan dalam pencegahan fraud yaitu :
a. Create
a culture of honesty, openness, and assistance ;
b. Eliminate
opportunities for fraud ;1) Identify the importance of good internal controls, 2)
discourage collusion between employees and outside parties, 3) Recognize how to
monitor employees;
· Recognize
how to monitor employees.
· Set
up a response line for anonymous tips.
· Conduct
proactive fraud auditing.
· Create
an effective organization to minimize fraud.
Untuk
melakukan pencegahan terhadap fraud, setidaknya ada tiga upaya yang harus
dilakukan, yaitu:
1. Membangun
individu yang didalamnya terdapat trust and openness, mencegah benturan kepentingan,
confidential disclosure agreement dan corporate security contract.
2. Membangun
system pendukung kerja yang meliputi system yang terintegrasi, standarisasi
kerja, aktifitas control dan sitem rewards and recognition.
3. Membangun
system monitoring yang didalamnya terkandung control self assessment, internal
auditor dan eksternal auditor.
Menurut
Joseph T. Wells, semua kejahatan terjadi
sebagai kombinasi dari motivasi dan kesempatan.
· Untuk
mengurangi motivasi berbuat kecurangan, manajer harus:
a. Menyediakan
lingkungan kerja yang etis dan kepemimpinan yang menunjukkan perilaku etis
dalam semua aktivitas bisnis;
b. Memperlakukan
karyawan dengan baik;
c. Mendengarkan
dan menanggapi keluhan dan masalah yang disampaikan karyawan, khususnya mereka
yang mengungkapkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan atau mendiskusikan masalah
kesulitan keuangan.
· Untuk
mengurangi persepsi karyawan tentang
adanya kesempatan melakukan kecurangan, pemilik dan manajer dapat mengirimkan
pesan yang menunjukkan bahwa “seseorang sedang mengawasi”. Jika memungkinkan,
minta akuntan eksternal untuk memeriksa pembukuan. Buatlah kebijakan perusahaan
tentang kecurangan, konsekuensi pelanggaran serta menerapkan hukuman tersebut
jika ditemukan pelanggaran.
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI
Kesimpulan:
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Fraud
ialah Fraud atau penipuan adalah sebagai suatu tindakan penipuan yang dilakukan
untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan perampasan hak atau kepemilikan orang lain. Ada beberapa
alasan mengapa seseorang melakukan fraud yakni karena tekanan, kesempatan dan
suatu cara untuk merasionalisasi bahwa tindakan fraud diperbolehkan. Dengan
maraknya kasus fraud yang terjadi sekarang ini dapat menyebabkan kerugian
keuangan Negara tidak hanya itu fraud juga dapat mengahncurkan sendi-sendi
budaya sosial masyarakat.
Peran audit internal adalah sebagai pengawas
terhadap tindak kecurangan. Audit internal bertanggung jawab untuk membantu manajemen
mencegah fraud dengan melakukan pengujian dan evaluasi keandalan dan efektivitas
dari pengendalian seiring dengan potensi resiko terjadinya kecurangan dalam berbagai
segmen. Dengan adanya audit diharapkan dapat berjalannya penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Untuk melakukan pencegahan terhadap fraud,
setidaknya ada tiga upaya yang harus dilakukan, yaitu: 1). Membangun individu
yang didalamnya terdapat trust and openness, mencegah benturan kepentingan,
confidential disclosure agreement dan corporate security contract. 2).
Membangun system pendukung kerja yang meliputi system yang terintegrasi,
standarisasi kerja, aktifitas control dan sitem rewards and recognition. 3).
Membangun system monitoring yang didalamnya terkandung control self assessment,
internal auditor dan eksternal auditor.
Implikasi:
- Dalam melakukan pengawasan, Pemerintah harus memperkuat timnya dengan sumberdaya berupa tenaga ahli dibidang audit internal yang mempunyai pendidikan yang memadai dalam bidang akuntansi dan auditing.
- Pengalaman bagi seorang auditor merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pendeteksian fraud, untuk itu seorang auditor harus terus meningkatkan pengalamannya seperti halnya dengan mengikuti pelatihan dibidang audit, dengan pengalaman yang memadai auditor sudah terbiasa menghadapi segala sesuatu dalam proses audit dan lebih paham terhadap gejala terjadinya fraud.
- Pemerintah harus lebih tegas lagi dalam mengenakan sanksi bagi pelaku yang melakukan tindakan fraud atau kecurangan.
- Sebagai masyarakat kita juga harus menyadari bagaimana dampak yang timbul akibat terjadinya fraud pada Negara kita.
- Dalam penyelenggaraan pemerintahan penerapan prinsip-prinsip good governance (transparansi, independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban,dan kewajaran) harus lebih ditingkatkan,jika good governance diterapkan secara baik mungkin saja fraud tidak akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Sulastri. Binsar
H Simanjuntak. 2014. Fraud Pada Sektor Pemerintah Berdasarkan Faktor Keadilan Kompensasi, Sistem Pengendalian
Internal, Dan Etika Organisasi Pemerintah (Studi Empiris Dinas Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta). e-Journal Magister Akuntasi Trisakti Volume. 1 Nomor. 2 September Hal. 199-227
Meikhati,
Ety. Istiyawati Rahayu. 2015. Peranan Audit Internal dan Pencegahan Fraud Dalam
Menunjang Efektivitas Pengendalian Internal. Jurnal Paradigma Vol. 13, No. 01,
Februari – Juli Hal.77-91
Furqani,Astri.
2015. Peranan Inspektorat Kabupaten sumenep Dalam Mencegah Dan Mendeteksi Fraud
Di Dinas Pendidikan Sumenep. Jurnal “PERFORMANCE” Bisnis & Akuntansi Volume
V, No.1, Maret Hal 13-24
Nisak,Chairun.,
Prasetyono, & Fitri Ahmad Kurniawan. 2013. Sistem Pengendalian Intern Dalam
Pencegahan Fraud Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (Skpd) Pada Kabupaten
Bangkalan. JAFFA Vol. 01 No. 1 April Hal.
15 – 22
Koroy,
Tri Ramaraya, 2008. Pendeteksian Kecurangan
(Fraud) Laporan Keuangan Oleh Auditor Eksternal. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Vol.10 No.1 Mei, Hal 22–23.
Nurhayati,
Ida. & Indianik Aminah. 2014. Prinsip Know Your Employee Sebagai Upaya Pencegahan
Fraud Pada Perbankan Indonesia. Epigram, Vol.11 No. 2 Oktober:167-172
Wibowo.
Winny Wijaya. 2009. Pengaruh Penerapan
Fraud Early Warning
System (Fews) Terhadap
Aktivitas Bisnis Perusahaan.
Jurnal Informasi, Perpajakan, Akuntansi Dan Keuangan Publik Vol. 4, No. 2,
Juli Hal. 77 – 111
Karyono, 2002.Fraud auditing.Journal The WINNERS,
Vol. 3 No. 2, September: 150-160
Soepardi,
Eddy Mulyadi . 2010. Peran BPKP dalam Penanganan Kasus Berindikasi Korupsi
Pengadaan Jasa Konsultansi Instansi Pemerintah.Jakarta.
AICPA.
2002.Statement on Auditing Standards (SAS) no 99. Consideration
of Fraud in a Financial Statement Audit.
Gusnardi.
2012. Peran Forensic Accounting Dalam Pencegahan Fraud. Pekbis Jurnal, Vol.4,
No.1, Maret : 17-25
Aisyah,Mimin
Nur, 2006. Peningkatan Peran Auditor Dalam Pencegahan Dan Pendeteksian Fraud.JPAI
Vol V No.1
Rahman,Fatahul.2011.
Peran Manajemen Dan Tanggung Jawab
Auditor Dalam Mendeteksi Kecurangan Laporan Keuangan. JURNAL EKSIS Vol.7 No.2, Agustus: 1816 – 2000
T,
Theresa Festi. Andreas & Riska Natariasari. 2014. Pengaruh Peran Audit
Internal Terhadap Pencegahan Kecurangan. JOM FEKON Vol.1 No. 2 Oktober Hal 1-16
Mardiasmo.
2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : ANDI.
BPKP.
PP No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik
Indonesia. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/05/M.PAN/03/2008 Tentang Standar Audit Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah
Anugerah,Rita.2014.Peranan
Good Corporate Governance Dalam Pencegahan Fraud. Jurnal Akuntansi, Vol. 3, No. 1, Oktober 2014 : 101 – 113
Anggriawan,Eko
Ferry. 2014. Pengaruh Pengalaman Kinerja, Skeptisme Profesional dan Tekanan
Waktu Terhadap Kemampuan Auditor Dalam Mendeteksi Fraud. Jurnal Nominal/Volume
III Nomor 2/Tahun 2014 Hal 101-116
tulisan yg sangat baik
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete